SuaraJogja.id - Di tengah arus modernisasi, seni pewayangan makin terpinggirkan. Tak banyak lagi orang yang sekadar melihat atau menekuni seni yang bernilai tradisi ini.
Alih-alih membiarkannya punah, Omah Budaya Kahangnan mencoba menghidupkan seni pewayangan.
Menggandeng 22 seniman dan perupa yang memiliki kepedulian pada seni pewayangan, omah budaya ini menggelar agenda seni pewayangan mulai malam 1 Suro 2020 atau 1 Muharram 1442 Hijriah.
Pelestarian seni pewayangan, menurut Hangno, pendiri Omah Budaya Kahangnan, menjadi sangat penting tak sekadar karena pembuatannya yang penuh filosofi.
Baca Juga: Tahun Baru Islam, Mengingat Kembali Sejarah Penanggalan Kalender Hijriah
Namun, mulai dari tatah sungging, pewarnaan, karakter para tokoh, hingga ke pertunjukkannya memiliki nilai tradisi adiluhung yang bisa diterapkan sampai kapan pun.
"Wayang penuh seni dan inspirasi kehidupan dalam narasi ceritanya. Inilah yang menjadi inspirasi untuk terus menghidupkannya," ungkapnya di sela pembukaan pameran, Rabu (19/8/2020).
Tak hanya seni pewayangan, omah budaya ini menjadi tempat belajar berbagai ilmu tentang kebudayaan Jawa, termasuk pengenalan aksara Jawa.
Di tempat yang meniru pola asrama Jawa kuno ini, pegiat seni mengajarkan tentang kesenian, sastra, religi, hingga teknologi.
Pengenalan aksara Jawa dan naskah kuno ini juga wajib dilakukan karena jumlah filolog atau ahli filologi yang mampu menerjemahkan naskah-naskah kuno Nusantara sangatlah minim.
Baca Juga: Peringati Malam 1 Suro, Warga Gunungkidul Kirab 4 Pusaka Sri Sultan HB VIII
Padahal, ribuan naskah kuno di Indonesia masih ada yang tersimpan di berbagai perpustakaan di luar negeri.
"Kita ada pelatihan aksara Jawa Carakan dan Jawa Kawi. Pelatihan terbuka 24 jam dan sifatnya gratis," jelas Hangno.
Lima kali pertemuan bisa membaca dan menulis aksara jawa. Ke depan kami akan mengembangkan sekolah filologi," lanjutnya.
Sementara kurator pameran, Adrian Kresna, mengungkapkan, Omah Budaya Kahangnan diharapkan mampu menjawab tantangan pengenalan kesenian di kawasan pinggiran.
Dengan begitu, makin banyak masyarakat, termasuk kaum urban, yang mengenal kesenian Jawa.
"Ibaratnya omah budaya ini seperti seni mengepung kota. Ruangan ini bisa dipakai untuk kegiatan seni budaya pada umumnya, khususnya wayang. Kami coba mencontoh Festival Lima Gunung yang sukses di Magelang," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
-
OM Lorenza: Pelipur Lara Kala Indonesia Tidak Baik-Baik Saja
-
Menghabiskan Libur Lebaran dengan Berwisata ke Lighting Art Kota Tua Jakarta
-
AI Mengguncang Dunia Seni: Kreator Sejati atau Ilusi Kecerdasan?
-
Ulasan Buku Seni Mengelola Waktu: Pentingnya Perencanaan Waktu yang Cermat
-
Meriahnya Pawai Ogoh-Ogoh di Taman Mini
Terpopuler
- Pemilik Chery J6 Keluhkan Kualitas Mobil Baru dari China
- Profil dan Aset Murdaya Poo, Pemilik Pondok Indah Mall dengan Kekayaan Triliunan
- Jairo Riedewald Belum Jelas, Pemain Keturunan Indonesia Ini Lebih Mudah Diproses Naturalisasi
- Jadwal Pemutihan Pajak Kendaraan 2025 Jawa Timur, Ada Diskon hingga Bebas Denda!
- Jualan Sepi usai Mualaf, Ruben Onsu Disarankan Minta Tolong ke Sarwendah
Pilihan
-
Bodycharge Mematikan Jadi Senjata Rahasia Timnas U-17 di Tangan Nova Arianto
-
Kami Bisa Kalah Lebih Banyak: Bellingham Ungkap Dominasi Arsenal atas Real Madrid
-
Zulkifli Hasan Temui Jokowi di Solo, Akui Ada Pembicaraan Soal Ekonomi Nasional
-
Trump Singgung Toyota Terlalu Nyaman Jualan Mobil di Amerika
-
APBN Kian Tekor, Prabowo Tarik Utang Baru Rp 250 Triliun
Terkini
-
Jogja Hadapi Lonjakan Sampah Pasca Lebaran, Ini Strategi Pemkot Atasi Tumpukan
-
Revitalisasi Stasiun Lempuyangan Diprotes, KAI Ungkap Alasan di Balik Penggusuran Warga
-
Soal Rencana Sekolah Rakyat, Wali Kota Yogyakarta Pertimbangkan Kolaborasi Bersama Tamansiswa
-
Solusi Anti Pesing Malioboro, Wali Kota Jogja Cari Cara Antisipasi Terbaik
-
Praktisi UGM Rilis 2 E-Book Kehumasan: Solusi Jitu Hadapi Krisis Komunikasi di Era Digital