Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Sabtu, 18 Januari 2020 | 13:43 WIB
Ilustrasi radikalisme. [Shutterstock]

SuaraJogja.id - Isu radikalisme yang disebutkan memengaruhi 60 persen SMA di Kabupaten Sleman telah ditelusuri Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Sleman dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag DIY. Penyataan dari Ketua Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) Sleman Unsul Jalis tersebut kemudian dibantah Kemenag.

Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam Kemenag (PAIS) Sleman Suharto menjelaskan, isu tentang SMA-SMA di Sleman yang terpapar paham radikal itu tidak benar. Menurutnya, FKPAI tidak pernah melakukan penelitian tersebut.

"Angka 60 persen yang disebut dalam pemberitaan tersebut berasal dari kabar-kabar yang beredar di media sosial," katanya saat menggelar jumpa pers di Kantor Kemenag Sleman, Jumat (17/1/2020), dikutip dari HarianJogja.com -- jaringan Suara.com.

Suharto mengungkapkan, selama ini Kemenag melakukan pembinaan kepada para pelajar, mulai dari permasalahan narkoba, miras, radikalsime, maupun klithih. Pihaknya juga melakukan pembinaa kepada para rohis.

Baca Juga: Punya Modal Jadi Bintang Film, Gronya Somerville Lebih Pilih Bintangi Iklan

"Hasilnya tidak ada indikasi anak-anak itu terpapar paham radikal," lanjut dia.

Pernyataan serupa disampaikan Kabid PAKIS Kemenag DIY Masrudin. Ia menjelaskan, selama ini Kemenag rutin melakukan monitoring ke sekolah-sekolah. Pihaknya mengklaim tidak menemukan ajaran radikalisme di jajaran Rohis.

"Kami melakukan monitoring ke sekolah-sekolah dan selama ini tidak menemukan ajaran radikalisme di jajaran Rohis," ujar Masrudin.

Sebelumnya dilaporkan, Ketua FKPAI Sleman Unsul Jalis, Rabu (15/1/2020), menyebutkan, setelah dilakukan penyebaran angket pada 2019, diketahui sekitar 60 persen SMA di Sleman dan sekitar 30 persen guru terpapar paham radikalisme.

Hanya saja, dalam konferensi pers, Jalis justru mengutarakan pernyataan yang bertolak belakang.

Baca Juga: Tangis Dewi Irawan Pecah di Pusara Ade Irawan

Ia menarik seluruh pernyataannya dan mengaku bahwa tidak ada penelitian yang dilakukan terkait paham radikali di sekolah-sekolah. Menurut Jalis, informasi itu berasal dari berita-berita penelitian bersifat nasional yang disebut banyak beredar di media sosial.

Load More