Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 01 Mei 2020 | 21:44 WIB
Sejumlah pekerja pabrik berjalan di luar area pabrik saat jam istirahat di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, dampak dari wabah virus COVID-19 menyebabkan sebanyak 452.657 orang harus dirumahkan dan di-PHK atau pemutusan hubungan kerja yang terdiri dari pekerja )di sektor formal dan informal. (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp.

SuaraJogja.id - Tanggal 1 Mei menjadi "hari raya" kaum buruh. Namun peringatan Hari Buruh di 2020 ini menghadirkan nuansa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Jika sebelumnya para buruh bisa merayakan Hari Buruh dengan turun ke jalan-jalan menyampaikan aspirasi, saat ini, sayangnya, hal itu tak bisa mereka lakukan lantaran sudah dua bulan berlalu, tetapi Indonesia, dan bahkan dunia, masih diselimuti beragam dampak pandemi corona. Padahal, krisis ekonomi, yang merupakan salah satu dampak besar yang juga dirasakan kaum buruh, perlu mendapat perhatian.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kulon Progo sejauh ini mencatat, jumlah tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan, termasuk Pekerja Migran Indonesia (PMI) terdampak pandemi Covid-19, mencapai kurang lebih 5.300 orang.

Hari Buruh yang jatuh pada Jumat (1/5/2020) pun disambut dengan suram oleh para buruh yang kehilangan pekerjaan dan tidak dapat menyuarakan aspirasinya ke jalan karena adanya imbauan tidak boleh berkerumun.

Baca Juga: Madonna Ngaku Punya Antibodi Corona, Tak Sabar Mau Keluar Rumah

Salah satunya dirasakan Sigit Romadon, warga Balong, Kaligintung, Temon, Kulon Progo yang pulang ke kampung halaman setelah pihak perusahan tempatnya bekerja menghentikan proyek yang sedang berjalan karena adanya pandemi Covid-19.

Ia sebelumnya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang jasa surveyor sebagai drafter atau pembuat gambar dari hasil ukur bidang tanah oleh surveyor. Namun, adanya instruksi dari pemerintah terkait program pengukuran yang berpotensi menimbulkan kerumunan, akhirnya para pekerja dari luar kota harus dipulangkan.

"Betul bisa dibilang diberhentikan dulu sampai batas waktu yang belum diketahui. Ya terus untuk yang dari luar kota, kami minta dipulangkan saja karena tidak tau sampai kapan pandemi akan berakhir," ungkapnya saat dihubungi SuaraJogja.id, Jumat (1/5/2020).

Sebelum pulang, Sigit bekerja di kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama rekan-rekan lainnya. Namun, sudah sejak satu bulan yang lalu ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Kaligintung.

Ia mengatakan, keputusannya pulang, selain karena ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, juga akibat ketakutannya yang timbul dari banyaknya kabar buruk selama pandemi. Keputusan pulang lebih cepat dianggapnya sebagai langkah yang tepat karena tidak lama setelah itu semua akses transportasi ditutup untuk sementara waktu.

Baca Juga: Kades Jalancagak Protes Soal Penyaluran Bansos, Mensos Jawab Ini

Sigit menuturkan, karena ia bekerja dengan sistem kontrak, gaji yang diterima hanya sebatas sampai saat terakhirnya bekerja. Saat ini ia harus menjadi pekerja serabutan di desa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Load More