Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 26 Oktober 2020 | 21:35 WIB
Pengecekan suhu tubuh di LPKA Klas II Yogyakarta sebagai langkah cegah wabah virus corona, Senin (16/3/2020). [Julianto / Kontributor]

SuaraJogja.id - Jelang peringatan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020, berbagai persoalan masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini. Salah satunya adalah kenakalan remaja yang selalu saja berulang dalam berbagai moment. Di Yogyakarta, aksi klitih masih terus terjadi, dan sampai saat ini belum terpecahkan pencegahannya.

Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Yogyakarta LPKA Kelas II Yogyakarta Teguh Suroso mengungkapkan, kasus kekerasan yang melibatkan para remaja serta kriminalitas lainnya yang dilakukan oleh mereka terus saja terulang belakangan ini. Dan saat ini sudah ada 20 anak yang menjalani pembinaan di Lembaga ia pimpin. 

"Beberapa perilaku 'menyimpang' mereka lakukan,"terangnya, Senin (26/10/2020) di kantornya.

Teguh menyebut, 20 anak yang kini menjadi penghuni LPKA adalah pelaku perundungan 10 anak, kekerasan 7 anak dan pencurian 3 anak. Mereka menjalani pembinaan dengan lama yang cukup variatif. Pihaknya mencatat lama hukuman yang mereka harus jalani adalah ukuran bulan hingga 7 tahun.

Baca Juga: Tewas dalam Kebakaran di Tangerang, Satu Keluarga Dimakamkan di Gunungkidul

Terakhir yang mereka terima adalah para pelaku kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal di Plered kabupaten Bantul beberapa waktu yang lalu. LPKA menerima mereka untuk dibina sehingga bisa kembali ke jalan yang lurus seperti yang diharapkan.

"Itu tergantung pada vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Di sini variatif, hukumannya beberapa sampai 7 tahun,"tuturnya.

Dia menyebut, dari 20 orang tersebut paling banyak menjalani hukuman 2 tahun penjara. 20 orang masing-masing di antaranya adalah dihukum di bawah 1 tahun ada 3 orang, divonis hukuman kurungan 1 tahun ada 3 orang, 2 orang ada 5 orang,  3 tahun ada 2 orang , 4 tahun ada 4 orang, 5 tahun ada 1 orang dan 7 tahun ada 1 orang.

Sebenarnya, lanjut Teguh, mereka tidak mengetahui apa yang dilakukannya termasuk kekerasan yang mengakibatkan orang lain meninggal. Kekerasan terutama terhadap temannya sendiri tersebut dilakukan secara spontan tanpa ada yang direncanakan.

"Karena lebih banyak disebabkan psikologis massa," terangnya.

Baca Juga: Intensitas Kampanye Tatap Muka di Gunungkidul Tertinggi di Indonesia

Aksi klitih seperti yang terus terulang saat ini sebenarnya tidak ada dalam istilah hukum karena yang ada sejatinya adalah aksi kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh remaja lebih banyak karena mereka ingin mencari jati diri.

Selain itu, pemicu kekerasan remaja adalah jiwa korps dengan genk yang mereka ikuti. Karena tidak semua anak pelaku kekerasan adalah anak-anak yang menyimpang. Ada di antara mereka bahkan anak manja atau 'Anak Mami'. Namun karena pengawasan yang kurang maka mereka berperilaku menyimpang.

Oleh karena itu, ia menghimbau kepada para orangtua untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak-anaknya. Jika tidak pulang sesuai jadwalnya maka orangtua mengkonfirmasi keberadaan anaknya di mana. Karena tidak sedikit yang menyalahgunakan kepercayaan orangtuanya untuk berperilaku negatif.

"Kalau sudah waktunya pulang tapi belum kelihatan di rumah ya dikaruhke.

Ia menyebut, anak-anak ini cenderung ingin diakui di kelompoknya, sehingga tak segan melakukan kekerasan. Anak-anak ini membutuhkan pengakuan dari oranglain terutama dari teman sepermainannya. Karena mereka memang kurang mendapat perhatian dari lingkungan keluarganya.

Ketika di LPKA, pihaknya berupaya mengembalikan perilaku mereka yang awalnya menyimpang bisa menjadi lebih baik. Mereka juga diupayakan masih mendapat hak untuk belajar dari sekolahnya. Bahkan ada guru pendamping yang datang ke LPKA untuk memberikan pembelajaran.

Load More