SuaraJogja.id - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas mengungkapkan saat ini Indonesia tak hanya mengalami pandemi COVID-19. Maraknya kejahatan politik membuat bangsa ini juga mengalami pandemi korupsi yang masif.
"Kejahatan politik menghasilkan kekerasan politik terhadap nilai luhur Pancasila dan melahirkan pandemi korupsi [bahkan] sudah meningkat menjadi tsunami politik," ujar Busyro dalam Refleksi Akhir Tahun 2021 Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah, Rabu (29/12/2021).
Masifnya kejahatan korupsi ini, menurut guru besar Fakultas Hukum UII tersebut tak kepas dari jabatan dan kekuasaan. Dalam banyak kajian, akar masalah kejahatan ini disebabkan sumber-sumber politik yang berasal dari negara yang membenturkan birokrasi di tingkat pusat dan daerah.
Regulasi seperti UU Pemilu, UU Pilkada dan UU Parpol membuat para birokrat yang relatif memiliki kecerdasan dan keunggulan harus menyerah pada sistem perundang-undangan di Indonesia untuk menjadi pemimpin. Sistem membuat orang baik pun akhirnya terperosok dalam lingkaran korupsi.
Dicontohkan Busryo, ada salah seorang mantan bupati yang pernah meraih penghargaan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) nasibnya berubah 180 derajat saat menjabat gubernur. Gubernur tersebut harus berurusan dengan KPK karena sistem membuatnya mengalami kejahatan politik.
"Karenanya melihat kejahatan politik tahun ini, maka di tahun baru nanti diharapkan ada instropeksi dan koreksi akan sistem kita," tandasnya.
Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengungkapkan kehidupan demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang luar biasa pasca reformasi. Namun dalam perkembangannya tidak pernah sepi dari masalah dan banyak catatan buruk HAM, intoleransi serta penerapan demokrasi.
"Ini terjadi karena perkembangan demokrasi prosedural tidak berbanding lurus dengan demokrasi yang substansif di negara ini," ungkapnya.
Karena itulah, lanjut guru besar UMY tersebut, perlu adanya konsolidasi demokrasi dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sebab sistem demokrasi yang eksperimental dan kultural yang selama ini diterapkan tidak selalu pas dengan demokrasi yang substansif.
Baca Juga: Busyro Muqoddas: Rezim KPK Tak Akan Lama, Sudah Osteoporosis Moral
"Sering terjadi perbedaan parameter antara standar internasional universal [demokrasi] terkait dengan kultur yang melahirkan standar tersebut. Didalamnya ada nilai yang khas dan jadi dinamika dalam demokrasi padahal demokrasi yang eksperimental tidak selalu pas dengan demokrasi yang substansif," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Alarm Diabetes RI! Cukai Minuman Manis Jadi Solusi, Kenapa Masih Terus Ditunda Sejak 2016?
-
Warga Jogja Wajib Tahu! Ini Daftar Wilayah Rawan Banjir dan Longsor saat Musim Hujan
-
Krisis Lahan Kuburan, Yogyakarta Darurat Makam Tumpang: 1 Liang Lahat untuk Banyak Jenazah?
-
Korban Keracunan MBG di Yogyakarta Nyaris 1000 Anak, Sultan Akhirnya Buka Suara
-
Peringatan Keras BMKG: Jangan Dekati Pantai Selatan Jogja, Ombak Ganas 4 Meter Mengintai!