Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 24 Februari 2022 | 16:37 WIB
Asap hitam mengepul dari bandara militer di Chuguyev dekat Kharkiv pada 24 Februari 2022. Aris Messinis / AFP

SuaraJogja.id - Konflik antara Rusia dan Ukraina masih terus berlangsung. Bahkan operasi militer khusus juga telah diluncurkan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin di bagian Ukraina timur pada Kamis (24/2/2022) waktu setempat.

Pengamat hubungan internasional UGM Riza Noer Arafani menilai bahwa kondisi tersebut sebenarnya dapat menjadi peluang untuk negara-negara seperti Indonesia. Khususnya dalam hal mengajukan proposal sebagai saran untuk menurunkan tensi ketegangan dua negara itu.

"Ya ini sebenarnya peluang juga ya untuk negara-negara seperti Indonesia untuk mengajukan proposal di luar yang sudah ada lewat mekanisme internasional, utamanya lewat perserikatan bangsa-bangsa ya. Paling tidak sekarang ini bisa diserukan untuk semua pihak menahan diri untuk tidak melanjutkan eskalasi konfliknya," kata Riza saat dihubungi awak media, Kamis (24/2/2022).

Menurutnya langkah atau upaya untuk menurunkan eskalasi konflik itu penting untuk dilakukan. Tentu saja jika memang memungkinkan harus ada upaya untuk menurunkan ketegangan hingga menghentikan konflik itu.

Baca Juga: Perang Mulai Berkecamuk, 138 WNI di Ukraina dalam Kondisi Aman

Hal itu yang kemudian dinilai mendesak dalam jangka waktu setidaknya menengah dan panjang. Tidak hanya Indonesia, kata Riza beberapa negara lain pun bisa ikut terlibat sebagai penengah di konflik tersebut.

"Saya kira memang negara-negara selatan, negara-negara emerging power seperti Indonesia, Brasil, Afrika Selatan dan Turki misalnya, itu bisa menjadi alternatif ya untuk menjadi penengah dari konflik yang sudah berkepanjangan di sana," ujarnya.

Meskipun memang untuk Indonesia sendiri tidak mempunyai track record untuk itu. Namun melihat kepentingan yang ada sekarang ini untuk menghindarkan konflik dalam skala yang lebih besar upaya itu harus dilakukan.

"Mungkin dengan menggandeng Cina, walaupun ya agak susah kalau memasukkan Cina di dalamnya tapi India, Indonesia, Brasil, Afrika Selatan itu negara-negara yang kunci," ungkapnya.

Belum lagi, ditambahkan Riza terkait dengan negara-negara tersebut yang masuk di dalam G20. Mengingat presidensi Indonesia juga ada di sana. 

Baca Juga: Serangan Siber Meningkat di Ukraina, Prancis dan Australia Selamatkan Warga

Menurutnya G20 harus mempunyai pesan kaitannya dengan penyelesaian konflik Rusia dan Ukraina tersebut. Walaupun memang G20 tidak dirancang untuk menyelesaikan persoalan di bidang-bidang politik atau militer melainkan lebih ke ekonomi dan keuangan.

"Tetapi tidak ada salahnya ada semacam urgensi dari kelompok negara-negara ini untuk masuk ke konflik ini dan menjadi future broker, peace broker atau penengah begitu," tegasnya.

Riza menyebut secara umum masyarakat internasional apalagi G20 akan menanggung eskalasi dari konflik tersebut jika terus dibiarkan. Sehingga perlu ada terobosan dari segi upaya untuk mengurai konflik geopolitik tersebut.

"Harus ada sesuatu yang menerobos upaya-upaya yang selama ini sudah dilakukan dan sesuatu itu bisa datang dari negara-negara yang tidak tradisional seperti Indonesia, Brasil atau India, kalau kita pakai G20," tandasnya.

Load More