Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Wahyu Turi Krisanti
Rabu, 21 September 2022 | 15:14 WIB
Sejumlah warga mengarak gunungan hasil bumi dan sejumlah lemper saat kirab Rebo Pungkasan di Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Bantul, Selasa (20/9/2022) malam. [Wahyu Turi Krisanti/Suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Masyarakat di Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Bantul kembali gelar Rebo Pungkasan setelah dua tahun lamanya tidak diselenggarakan karena pandemi Covid-19.

Ratusan warga dari 12 padukuhan melakukan kirab dan mengarak lemper raksasa dan berbagai macam hasil bumi dari masjid Al Huda sampai ke pendopo Kalurahan Wonokromo. Gelaran adat ini disaksikan oleh ribuan orang yang hadir pada Selasa (20/9/2022) malam.

Lurah Wonokromo, Machrus Hanafi mengatakan gelaran Rebo Pungkasan telah ada sejak abad ke-17. Gelaran tahun ini tak jauh berbeda dengan yang telah diselenggarakan pada tahun-tahun sebelumnya.

"Sebenarnya perjalanan sejarah yang panjang dari abad ke-17. Tahun ini setelah pademi baru diselenggarakan dengan konsep yang sama seperti sebelumnya," katanya saat ditemui SuaraJogja.id selepas acara Rebo Pungkasan, Selasa.

Baca Juga: Bangkitkan Budaya Bali, Puri Pemecutan Tampilkan Atraksi Pecut di Peringatan Puputan Badung

Machrus menjelaskan, gelaran Rebo Pungkasan dimaknai sebagai salah satu pelestarian budaya serta akulturasi antara agama dan budaya dimana diselenggarakan di hari Rabu terakhir bulan Safar dalam penanggalangan Jawa.

"Dilaksanakan hari rabu terakhir bulan Sapar, patokannya itu. Kalau tanggal nasional jatuh kapan itu dinamis," tuturnya.

Ia melanjutkan dalam rangkaian gelaran Rebo Pungkasan juga turut menghadirkan majelis doa untuk mendoakan leluhur yang telah mendahului serta mendoakan yang masih hidup agar tehindar dari musibah. Bagian rangkaian Rangkaian Rebo Pungkasan ini telah dilaksanakan pada Senin (19/9/2022) sejak subuh hingga maghrib.

"Merujuk dalam ajaran agama bahwa di bulan Sapar semakin mendekatkan diri pada Allah, berdoa meminta keselamatan dan kesehatan. Karena memang di bulan Sapar kebanyakan juga banyak musibah, ada bala [malapetaka]. Makanya kita rangkai juga majelis doa untuk tolak bala," paparnya.

Mengenai lemper yang diarak, Machrus menuturkan makanan ini merupakan sajian khas dari leluhur sejak abad 17 untuk menjamu tamu-tamu kehormatan. Selain itu makanan lemper sendiri memiliki makna filosofis yang dalam, dimana untuk merasakan kenikmatan kita harus menjalani proses untuk mencapainya.

Baca Juga: Kirab Budaya Jarwana, Kerukunan Akulturasi Budaya 3 Etnis di Kelurahan Jayengan Solo

"Lemper sendiri yang terdiri dari 3 lapis ada filosofinya. Pertama kita harus mengupas kulit atau daun itu untuk menuju kenikmatan. Terus kita menemukan ketan yang rasanya biasa saja, tetapi ketika dilanjutkan sampai pada inti atau akhir, kita akan menemukan kenikmatan dari isian daging," jelasnya

Disampaikan olehnya, lemper tersebut berukuran 2,5 meter dengan diameter 50 hingga 60 cm. Selain itu 12 padukuhan di Wonokromo juga menyajikan lemper berukuran kecil yang biasa kita jumpai di pasaran untuk dibagikan ke masyarakat.

Load More