SuaraJogja.id - Film animasi anak 'Merah Putih: One For All' tengah mendapat sorotan tajam publik. Tak sedikit masyarakat yang melontarkan kritik pedas terhadap kualitas animasi tersebut.
Dosen Program Studi Produksi Film & Televisi FSMR ISI Yogyakarta, Deddy Setyawan, turut memberikan komentar terkait kualitas teknis film yang bakal dirilis bertepatan dengan HUT ke-80 RI itu.
"Ketika membicarakan kualitas teknis, kita perlu bersikap objektif dan konstruktif," kata Deddy saat dikonfirmasi, Senin (11/8/2025).
Dia menilai kualitas film animasi yang digunakan masih jauh dari kata optimal. Menurutnya masih ada ruang besar untuk penyempurnaan dalam film ini.
"Pergerakan animasi [motion] yang terasa kaku dan kurang fluid, sehingga ekspresi karakter belum maksimal. Desain karakter yang cenderung statis pada beberapa adegan, membuat keterlibatan emosional penonton menjadi terbatas," ujarnya.
Selain itu, detail latar dan lingkungan yang masih minim kedalaman visual.
Padahal latar bisa menjadi elemen penting dalam membangun atmosfer cerita.
"Sinkronisasi suara dan bibir [lip sync] yang belum sepenuhnya tepat, sehingga kadang mengurangi naturalitas interaksi karakter," tambahnya.
Menurutnya, kelemahan tersebut bakal mengurangi keterlibatan emosional penonton terkhusus anak-anak yang menjadi target utama.
Baca Juga: Warisan Terakhir Hamzah Sulaiman: Film 'Jagad'e Raminten' Ungkap Kisah Kabaret Inklusif Jogja
Ia menduga keterbatasan waktu produksi menjadi salah satu penyebab.
Walaupun dengan anggaran yang disebut mencapai Rp6,7 miliar.
"Dari perspektif industri animasi, waktu satu tahun dan pasca produksi dua bulan untuk produksi penuh film layar lebar adalah sangat singkat," tandasnya.
Deddy mengingatkan bahwa proses ideal mencakup pra-produksi, produksi, dan pascaproduksi yang lebih panjang demi menjaga kualitas film itu sendiri.
Meskipun melontarkan berbagai kritik terhadap aspek teknis, Deddy memahami tantangan yang dihadapi industri animasi lokal.
Meskipun belakangan ada karya-karya animasi menonjol seperti Jumbo, Battle of Surabaya, Nussa, atau Si Juki The Movie. Secara umum, kata Deddy, ekosistem animasi nasional masih menghadapi tantangan besar.
"Keterbatasan jumlah tenaga ahli yang berpengalaman di produksi animasi skala besar. Infrastruktur teknologi dan perangkat lunak yang membutuhkan investasi signifikan. Model pembiayaan yang belum stabil, seringkali bergantung pada proyek-proyek tertentu tanpa keberlanjutan jangka panjang," ujarnya.
Ekspektasi penonton yang semakin tinggi pun harus dipertimbangkan.
Terlebih dengan kehadiran berbagai film animasi dengan kualitas lebih mumpuni.
Catatan bagi Kreator
Deddy turut memberi catatan bagi para kreator dan produser film animasi ini.
Mulai dari perencanaan produksi yang lebih panjang untuk memberikan waktu yang memadai untuk pra-produksi dan uji coba animasi akan sangat membantu menjaga kualitas.
Lalu pengembangan desain karakter yang lebih ekspresif: Anak-anak sangat peka pada ekspresi visual.
Karakter yang hidup akan membuat pesan lebih mengena.
"Pemanfaatan teknologi dan perangkat terbaru, untuk memaksimalkan pipeline produksi dengan teknologi yang efisien bisa menghemat waktu tanpa mengorbankan kualitas," kata Deddy.
Selain itu, penting untuk bisa berkolaborasi dengan talenta muda.
Sehingga dapat menggabungkan pengalaman senior dan kreativitas generasi baru dapat menghasilkan inovasi visual yang segar.
"Uji audiens sebelum rilis. Melakukan test screening terbatas untuk mengukur respons penonton anak dan orang tua dapat membantu menemukan aspek yang perlu diperbaiki," kata dia.
Kendati demikian, ia tetap memberi apresiasi pada ide dan niat film Merah Putih: One For All.
Terlebih dengan mengangkat keberagaman budaya Indonesia melalui tokoh anak-anak dari berbagai daerah.
"Tema ini sangat relevan untuk menanamkan nilai persatuan sejak dini," kata Deddy.
Sementara itu, bagi penonton, penting juga untuk memahami bahwa industri animasi nasional sedang dalam proses bertumbuh.
"Kritikan memang diperlukan, tetapi alangkah baiknya disampaikan secara membangun. Mengapresiasi niat baik di balik produksi seperti ini sama pentingnya dengan mendorong peningkatan kualitas," ucapnya.
Deddy menilai meski dari sisi teknis masih ada banyak ruang untuk peningkatan, film ini bisa menjadi batu pijakan berharga bagi karya-karya berikutnya.
"Sebagai penutup, izinkan saya mengutip pepatah Jawa:
Jer basuki mawa béya, keberhasilan memerlukan biaya, tenaga, dan waktu," ujar dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- Perbandingan Konsumsi BBM Mitsubishi Destinator vs Innova Zenix, Irit Mana?
- FC Volendam Rilis Skuad Utama, Ada 3 Pemain Keturunan Indonesia
- Tukang Jahit Rumahan di Pekalongan Syok "Ditagih" Pajak Rp2,8 Miliar
- Peluang Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia 2026 Makin Besar, Arab Saudi Punya Dua Celah
- Nggak Perlu Jutaan! Ini 6 Sepatu Jalan Kaki Brand Lokal Terbaik di Bawah 500 Ribu
Pilihan
-
Rahasia Dean Henderson Tundukkan Algojo Liverpool: Botol Minum Jadi Kunci
-
Bos Danantara Sebut Pasar Modal Motor Ekonomi, Prabowo Anggap Mirip Judi
-
Jelang HUT RI! Emiten Tekstil RI Deklarasi Angkat Bendera Putih dengan Tutup Pabrik
-
Update Pemain Abroad: Nathan Tjoe-A-On Debut Pahit, Eliano Menang, Mees Hilgers Hilang
-
Pilih Nomor 21, Jay Idzes Ikuti Jejak Pemain Gagal Liverpool di Sassuolo
Terkini
-
Bye-bye Parkir ABA, Lihat Penampakan Parkir Baru di Ketandan, Anggarannya Fantastis
-
4 Kali Diledakkan, Mortir Ratusan Kilo di Sleman Masih Utuh! Apa yang Terjadi?
-
Kangen Merapi? Jangan Nekat! Ini Alternatif Tracking Aman dengan Panorama Memukau
-
Jejak Bisnis dan Sejarah di Jantung Muhammadiyah: Tur 3 Kampung Ikonik Yogyakarta
-
Humanis, Ini Strategi Yayasan Literasi Desa Tumbuh, LPA Klaten, dan UNICEF Perangi Terorisme