SuaraJogja.id - Berbagi di tengah pandemi COVID-19 menjadi sebuah gerakan positif yang dilakukan banyak orang saat ini. Tak terkecuali Aslimah, difabel asal Dawe, Kudus yang kini menetap di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.
Kala SuaraJogja.id menyambangi rumah perempuan 33 tahun itu, Selasa (9/6/2020), wajahnya sedang dirias di ruang tengah. Mengenakan pakaian gaun berhias tule dan brokat fuschia, Aslimah juga dipulas lipstik dan eyeshadow warna senada. Di kepalanya terpasang kerudung berwarna sama berhias renda. Penampilannya sempurna.
Tak lama, dengan sigap ia menuju ke ruang tamu dan menyambut kami, sembari menunggu anak-anak yang akan ikut dalam kegiatan pagi itu.
"Banyak sekali orang peduli dan menyosialisasikan dampak COVID-19 kepada orang tua dan orang-orang dewasa. Namun, belum ada yang memberikan hal serupa bagi anak-anak," ungkap istri Wahyu Nugroho itu, Selasa.
Baca Juga:Orang Tua Diminta Bimbing Anak Ikuti KBM Jarak Jauh di Masa Pandemi
Menurut Aslimah, anak-anak nyatanya juga mendapat pukulan dari pandemi COVID-19 ini. Anak-anak tak lepas dari tekanan, terkekang karena minim kesempatan bermain. Mungkin mereka bisa melihat gawai elektronik. Hanya saja, hal itu juga bisa membuat mereka bosan.
Ditambah lagi persoalan sekolah daring, masing-masing sekolah memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam menerapkan kurikulum belajar selama sekolah daring di masa pandemi seperti sekarang. Ada yang menerapkan kurikulum seperti yang sudah ditetapkan, ada juga yang lebih santai, fleksibel.
"Mereka merasa jenuh, tapi tidak bisa mengungkapkan secara to the point, mereka sadar kalau interaksi paling indah adalah bersama dengan sesama anak-anak," ungkap Aslimah, yang tak memiliki kedua kaki sejak lahir.
Dalam kegiatan yang ia inisiasi, Aslimah ingin anak-anak mengungkapkan apa yang mereka rasakan selama masa pembatasan sosial, menggunakan bahasa mereka, dengan cara apa pun.
"Saya ingin memberi mereka hiburan, tapi mengandung pembelajaran," kata dia.
Baca Juga:Urgensi Komunikasi Publik di Tengah Krisis Pandemi Covid-19
Di hari itu, Aslimah sudah meminta masing-masing anak untuk mengenakan pakaian unik dan berwarna-warni. Pakaian itu merupakan inventaris milik Aslimah sendiri.
Beberapa hari sebelumnya, mereka telah diminta untuk mengumpulkan hasil karya dan kreasi, berbentuk apa pun. Nanti, kala bertemu bersama-sama, Aslimah akan menanyakan harapan mereka saat ini.
"Mereka selanjutnya saya minta mengambil salah satu kotak berwarna dari pohon emas ajaib. Di dalam kotak tadi, bertuliskan kado yang bisa mereka ambil," tambahnya, sembari mengambil kursi rodanya. Untuk bersiap foto bersama.
Dari permainan sederhana itu, Aslimah ingin mengajarkan pada anak-anak di desa tersebut bahwa selama pandemi ini, mereka tetap bisa berkarya, berusaha untuk mendapatkan sesuatu.
"Sikap penerimaan, karena setelah mengambil kado, mereka harus menerima apa pun isinya. Berikutnya, rasa saling berbagi, karena anak-anak yang datang dibebaskan untuk membawa dan membagikan apa pun yang mereka bawa tadi, kepada teman-temannya," tutur Aslimah, yang memiliki usaha pernik akar wangi bersama suaminya itu.
Melihat kondisi saat ini, orang tua juga bisa melakukan sejumlah hal dalam menekan potensi stres pada anak. Salah satunya kebiasaan memberi jajanan.
Kontributor : Uli Febriarni
"Orang tua bisa memberikan jajanan yang sama, tapi sebelumnya mengajak anak bermain sebuah game. Jadi anak tidak bosan dan mendapat semangat tersendiri," kata dia.
Ia berharap, apa yang dilakukannya bisa menginspirasi desa lain, untuk menginisiasi acara serupa dan memberi perhatian kepada anak-anak.
Seorang peserta, Norin Az Zahra, mengungkapkan, ia ingin ikut dalam kegiatan bermain dengan pohon emas ajaib itu agar mendapat pengalaman. Norin mengaku telah mengumpulkan kreasi bertema pantai sebelum ikut kegiatan itu dan mengenakan pakaian ala putri.
"Semoga virus korona cepat hilang," harap si kecil Norin, yang mengenakan dress tali spaghetti berwarna pink tersebut.
Sementara itu, Yustia Tanjung Ayuninghati mengungkapkan, ikut kegiatan itu membuatnya banyak bertemu teman dan menemukan keseruan.
"Bosan di rumah terus. Pengen korona cepat hilang, biar bisa ketemu teman-teman," ungkap bocah 8 tahun yang mengumpulkan kreasi celengan dari toples itu.
Siapa Sesungguhnya Aslimah?
Aslimah sendiri merupakan seorang tunadaksa yang pantang menyerah menjalani hidup. Mengenalnya membuat kita seakan menilai COVID-19 hanyalah ujian kecil bagi dirinya.
Betapa tidak, terlahir cacat sejak lahir tak membuatnya putus asa. Hidup dengan separuh tubuh membuat Aslimah mengalami berbagai hinaan dari orang lain.
Psikisnya jelas terpukul, melebihi segala kerepotan yang harus dia hadapi akibat keterbatasan fisiknya. Ia tak ingin orang lain memandangnya dengan rasa kasihan.
Walaupun ia tak bisa berjalan laiknya orang pada umumnya, ia bisa mengandalkan anggota tubuh lainnya. Bahkan ia selalu menolak pemberian uang dari orang-orang yang merasa kasihan dengannya.
Pernah menimba ilmu sampai SMA, Aslimah bertekad ingin hidup mandiri, tak menyusahkan kedua orang tua.
Ujian berikutnya yang ia hadapi adalah penolakan dari banyak pemilik kos. Kondisi fisik Aslimah yang tak sempurna selalu menjadi alasan penolakan itu.
Kemudian Aslimah merantau ke Yogyakarta dan ikut pelatihan keterampilan di sebuah yayasan bagi penyandang difabel hingga dia mampu membuat beragam produk kerajinan, khususnya berbahan akar wangi.
Bermodal nekat dan uang Rp250.000, ia menekuni usaha kerajinan akar wangi hingga kemudian ia berupaya membuat bisnisnya makin besar bersama suaminya, Wahyu Nugroho, seorang lelaki asal Kecamatan Semin, Gunungkidul yang meminangnya pada 17 Mei 2010.
Wahyu awalnya adalah lelaki asing yang ia temui di Kudus, kala acara dandangan, tradisi menyambut Ramadan. Aslimah berjanji membeli produk kerajinan yang dijual Wahyu kala dandangan dan meninggalkan nomor telepon genggam.
Sejak itu, hubungan keduanya makin intens sampai kemudian memutuskan untuk menikah.
Cinta sejati terkadang harus menemui halang rintang. Begitu juga cinta antara kedua sejoli ini. Keluarga Wahyu sempat tak merestui pernikahan itu karena khawatir keadaan Aslimah akan menjadi beban bagi Wahyu. Namun Aslimah mampu membuktikan bahwa ia mampu bekerja dan tidak bergantung dengan orang lain.
Restu akhirnya dikantongi. Mereka mengucap janji dalam ikatan suci hingga kini memiliki dua orang anak.
Bila di awal pernikahan mereka sempat mengontrak sebuah rumah sederhana di kawasan Kaliurang, Hargobinangun, kini mereka sekeluarga telah tinggal di rumah besar dan asri di Dusun Purwodadi, Pakembinangun.
Tanah dan rumah dibeli dan dibangun dari hasil keringat mereka berdua, menjalankan usaha pernik akar wangi.
Aslimah berniat terus membangun dan membesarkan usaha tersebut demi memberdayakan difabel lainnya agar bisa hidup mandiri.
Kontributor : Uli Febriarni