SuaraJogja.id - Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada (DPP UGM) melalui laboratorium Big Data Analytics dan PolGov Research Center melakukan tiga riset berbeda untuk mengetahui potensi politik uang pada Pemilu 2019.
Hasil penelitian menunjukkan masyarakat berpenghasilan dan berpendidikan rendah paling rentan politik uang. Ketiga data yang digunakan yaitu analisis percakapan di sosial media Twitter, survei pemilih dan penelitian kualitatif terhadap kandidat kepala daerah 2018.
Hasil penelitian tersebut dipaparkan oleh Dosen sekaligus Peneliti UGM Mada Sukmajati. Menurut Mada, hasil survei di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan 60 persen responden mengatakan pemberian barang atau uang dalam pemilu tidak boleh dilakukan.
Namun demikian, pertanyaan lebih jauh menunjukkan bahwa 34 persen pemilih akan menerima barang atau uang dari kandidat.
"Ada semacam tidak sinkron antara kognisi dengan praktik. Secara level kognisi mengatakan itu haram, tidak boleh. Tapi kalau diberikan uangnya, yang mengatakan tidak boleh itu berkurang," kata Mada di UGM, Senin (15/04/2019).
Analisis lebih jauh menunjukkan, potensi jual-beli suara tak memandang usia maupun jenis kelamin. Namun, kelas sosial, yaitu pendidikan dan pendapatan pemilih sangat berpengaruh terhadap keputusan pemilih menerima uang atau barang.
Toleransi terhadap politik uang pada responden yang tidak sekolah maupun tamatan SD mencapai 46 persen. Pada tamatan SMA 35 persen. Sementara tamatan perguruan tinggi yang mengaku menerima uang hanya 20 persen.
Di kategori pendapatan, 40 persen pemilih dengan pendapatan di bawah Rp 2 juta akan menerima uang atau barang. Sementara, pada penduduk berpendapatan di atas Rp 5 juta, kecenderungan menerima uangnya lebih rendah, yakni 20 persen.
Mada mengatakan praktik politik uang sudah menyebar secara masif. Pada Tahun 2014, praktik politik uang di sejumlah daerah berkelindan dengan politik identitas. Tren ini juga diperkirakan muncul pada Pemilu 2019.
Baca Juga: Bawaslu: Depok Rawan Politik Uang Saat Masa Tenang Pemilu
Mada menambahkan kampanye anti politik uang harus terus digalakkan, misalnya melalui desa antipolitik uang.
"Di DIY ada beberapa daerah inisiasi desa anti politik uang. Karena ini tidak bisa selesai dalam sekejap. Karena ini sudah mentradisi dan dianggap kewajaran, sehingga strategi butuh yang jangka panjang," kata dia.
Kontributor : Sri Handayani
Berita Terkait
Terpopuler
- Ole Romeny Menolak Absen di Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- Tanpa Naturalisasi, Jebolan Ajax Amsterdam Bisa Gantikan Ole Romeny di Timnas Indonesia
- Makna Satir Pengibaran Bendera One Piece di HUT RI ke-80, Ini Arti Sebenarnya Jolly Roger Luffy
- Ditemani Kader PSI, Mulyono Teman Kuliah Jokowi Akhirnya Muncul, Akui Bernama Asli Wakidi?
- Jelajah Rasa Nusantara dengan Promo Spesial BRImo di Signature Partner BRI
Pilihan
-
6 Smartwatch Murah untuk Gaji UMR, Pilihan Terbaik Para Perintis 2025
-
3 Film Jadi Simbol Perlawanan Terhadap Negara: Lebih dari Sekadar Hiburan
-
OJK Beberkan Fintech Penyumbang Terbanyak Pengaduan Debt Collector Galak
-
Tarif Trump 19% Berlaku 7 Agustus, RI & Thailand Kena 'Diskon' Sama, Singapura Paling Murah!
-
Pemerintah Dunia dan Tenryuubito: Antagonis One Piece yang Pungut Pajak Seenaknya
Terkini
-
Analisis Tajam Sabrang Letto: Kasus Tom Lembong Jadi Pertaruhan: Wasit Tak Adil!
-
Target PAD Pariwisata Bantul Terlalu Ambisius? Ini Strategi Dinas untuk Mengejarnya
-
Marak Pembangunan Abaikan Lingkungan, Lanskap Ekosistem DIY Kian Terancam
-
Status Kedaruratan Ditingkatkan Pasca Kasus Leptospirosis, Pemkot Jogja Sediakan Pemeriksaan Gratis
-
Bosan Kerja Kantoran? Pemuda Ini Buktikan Keripik Pisang Bisa Jadi Bisnis Menguntungkan di Kulon Progo