Scroll untuk membaca artikel
Yasinta Rahmawati | Rosiana Chozanah
Jum'at, 13 Maret 2020 | 08:41 WIB
Diskusi tentang BPJS Kesehatan di FK-KMK UGM (Himedik/Rosiana)

SuaraJogja.id - Aliansi Buruh Yogyakarta menganggap selama ini belum ada transparansi terkait dengan pengelolaan proses keuangan di dalam perusahaan serta BPJS Kesehatan.

"Artinya apa? Artinya ada ceruk yang masih cukup banyak yang bisa dikelola oleh BPJS khususnya PPU (Pekerja Penerima Upah)," tutur Kinardi, Sekretaris Jenderal dari Aliansi Buruh Yogyakarta, pada acara Seminar BPJS dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia di FK-KMK UGM, Kamis (12/3/2020).

Ia menambahkan, tidak adanya transparansi ini membuat masyarakat tidak tahu siapa yang sebenarnya telah menerima program jaminan kesehatan.

"Seolah-olah ini semuanya adalah problem rakyat miskin, tapi ketika tadi dibuka, ternyata yang (banyak) menggunakan layanan kesehatan adalah mereka yang mandiri, mereka yang mampu yang bisa mengakses layanan kesehatan," sambungnya.

Baca Juga: Sri Mulyani Diminta Santai Tanggapi Batalnya Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Menurutnya, ini menjadi sebuah wacana program jaminan sosial.

Diskusi tentang BPJS Kesehatan di FK-KMK UGM (Himedik/Rosiana)

"Apakah mau diteruskan dalam proyeksi multi player atau single player ini menjadi sebuah PR juga. Saya kira jaminan sosial bukan kitab suci yang harus selalu seperti ini, bisa diubah sebagus apapun asal jangan sampai merugikan rakyat Indonesia.

Putusan kenaikan tarif BPJS dibatalkan MA

Pada 2019 lalu, pemerintah memberlakukan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan sebanyak dua kali lipat, melalui Peraturan Presiden N0.75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.

Kenaikan iuran mengubah tarif PBI menjadi Rp 42 ribu, PBPU kelas III Rp 42 ribu, kelas II Rp 110 ribu dan kelas III Rp 160 ribu.

Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Batal Naik, Mungkinkah Uang Kembali?

Kenaikan ini didasari peningkatan jumlah defisit setiap tahun, terutama pada 2019 yang diperkirakan naik Rp32 triliun.

Di sisi lain, kementerian keuangan melaporkan dana PBI APBN yang diperuntukkan masyarakat miskin dan tidak mampu ternyata sisa lebih dari Rp 25 triliun dalam 5 tahun ini. Sementara ada defisit sejumlah Rp 62 tiliun untuk PBPU.

Namun, secara tiba-tiba kenaikan ini dibatalkan pada 9 Maret 2020 melalui putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran, lantaran kenaikan ini dianggap tidak berkeadilan karena masyarakat semakin sulit mengakses layanan dengan jaminan kesehatan yang mahal.

Load More