Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 10 Juni 2020 | 06:15 WIB
Aslimah (duduk di atas kursi roda) bersama anak-anak yang akan ikut games korona dan pohon emas ajaib di halaman rumahnya, RT 3 Dusun Purwodadi, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Selasa (9/6/2020). (SuaraJogja.id/Uli Febriarni)

"Orang tua bisa memberikan jajanan yang sama, tapi sebelumnya mengajak anak bermain sebuah game. Jadi anak tidak bosan dan mendapat semangat tersendiri," kata dia.

Ia berharap, apa yang dilakukannya bisa menginspirasi desa lain, untuk menginisiasi acara serupa dan memberi perhatian kepada anak-anak.

Seorang peserta, Norin Az Zahra, mengungkapkan, ia ingin ikut dalam kegiatan bermain dengan pohon emas ajaib itu agar mendapat pengalaman. Norin mengaku telah mengumpulkan kreasi bertema pantai sebelum ikut kegiatan itu dan mengenakan pakaian ala putri.

"Semoga virus korona cepat hilang," harap si kecil Norin, yang mengenakan dress tali spaghetti berwarna pink tersebut.

Baca Juga: Orang Tua Diminta Bimbing Anak Ikuti KBM Jarak Jauh di Masa Pandemi

Sementara itu, Yustia Tanjung Ayuninghati mengungkapkan, ikut kegiatan itu membuatnya banyak bertemu teman dan menemukan keseruan.

"Bosan di rumah terus. Pengen korona cepat hilang, biar bisa ketemu teman-teman," ungkap bocah 8 tahun yang mengumpulkan kreasi celengan dari toples itu.

Siapa Sesungguhnya Aslimah?

Aslimah sendiri merupakan seorang tunadaksa yang pantang menyerah menjalani hidup. Mengenalnya membuat kita seakan menilai COVID-19 hanyalah ujian kecil bagi dirinya.

Betapa tidak, terlahir cacat sejak lahir tak membuatnya putus asa. Hidup dengan separuh tubuh membuat Aslimah mengalami berbagai hinaan dari orang lain.

Baca Juga: Urgensi Komunikasi Publik di Tengah Krisis Pandemi Covid-19

Psikisnya jelas terpukul, melebihi segala kerepotan yang harus dia hadapi akibat keterbatasan fisiknya. Ia tak ingin orang lain memandangnya dengan rasa kasihan.

Walaupun ia tak bisa berjalan laiknya orang pada umumnya, ia bisa mengandalkan anggota tubuh lainnya. Bahkan ia selalu menolak pemberian uang dari orang-orang yang merasa kasihan dengannya.

Pernah menimba ilmu sampai SMA, Aslimah bertekad ingin hidup mandiri, tak menyusahkan kedua orang tua.

Ujian berikutnya yang ia hadapi adalah penolakan dari banyak pemilik kos. Kondisi fisik Aslimah yang tak sempurna selalu menjadi alasan penolakan itu.

Kemudian Aslimah merantau ke Yogyakarta dan ikut pelatihan keterampilan di sebuah yayasan bagi penyandang difabel hingga dia mampu membuat beragam produk kerajinan, khususnya berbahan akar wangi.

Bermodal nekat dan uang Rp250.000, ia menekuni usaha kerajinan akar wangi hingga kemudian ia berupaya membuat bisnisnya makin besar bersama suaminya, Wahyu Nugroho, seorang lelaki asal Kecamatan Semin, Gunungkidul yang meminangnya pada 17 Mei 2010.

Wahyu awalnya adalah lelaki asing yang ia temui di Kudus, kala acara dandangan, tradisi menyambut Ramadan. Aslimah berjanji membeli produk kerajinan yang dijual Wahyu kala dandangan dan meninggalkan nomor telepon genggam.

Sejak itu, hubungan keduanya makin intens sampai kemudian memutuskan untuk menikah.

Cinta sejati terkadang harus menemui halang rintang. Begitu juga cinta antara kedua sejoli ini. Keluarga Wahyu sempat tak merestui pernikahan itu karena khawatir keadaan Aslimah akan menjadi beban bagi Wahyu. Namun Aslimah mampu membuktikan bahwa ia mampu bekerja dan tidak bergantung dengan orang lain.

Restu akhirnya dikantongi. Mereka mengucap janji dalam ikatan suci hingga kini memiliki dua orang anak.

Bila di awal pernikahan mereka sempat mengontrak sebuah rumah sederhana di kawasan Kaliurang, Hargobinangun, kini mereka sekeluarga telah tinggal di rumah besar dan asri di Dusun Purwodadi, Pakembinangun.

Tanah dan rumah dibeli dan dibangun dari hasil keringat mereka berdua, menjalankan usaha pernik akar wangi.

Aslimah berniat terus membangun dan membesarkan usaha tersebut demi memberdayakan difabel lainnya agar bisa hidup mandiri.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More