Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Selasa, 30 Juni 2020 | 17:14 WIB
Rektor Universitas Alma Ata Hamam Hadi di ruang kerjanya, Sabtu (23/5/2020). - (SuaraJogja.id/Mutiara Rizka)

SuaraJogja.id - Maraknya aksi unjuk rasa di sejumlah daerah, termasuk di DIY yang menolak Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sejak beberapa hari terakhir dikhawatirkan menjadi pemicu munculnya klaster baru penularan COVID-19. Massa yang datang dari berbagai tempat sulit dilakukan tracing bila nantinya muncul kasus positif COVID-19.

"Unjuk rasa juga bisa berkontribusi munculnya klaster baru dan akan susah tracing karena kita tidak tahu mereka datang dari mana saja," ungkap ahli epidemiologi DIY, Hamam Hadi di Kampus Alma Ata, Selasa (30/06/2020).

Padahal kurva penambahan kasus positif di Indonesia, menurut Hamam masih cukup tinggi pada saat ini. Pelonggaran kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pemerintah daerah di masa pandemi ini membuat kasus positif naik cukup signifikan.

Rektor Alma Ata itu mencatat, pelonggaran kebijakan PSBB di sejumlah daerah pada pertengahan Juni 2020 lalu membuat kasus positif COVID-19 di Indonesia bertambah sekitar 700-1.000 orang per hari. Padahal sebelum ada pelonggaran, kasus positif COVID-19 yang muncul sekitar 400-600 per harinya. Bila dibiarkan maka kasus positif bisa mencapai 1.500-2.000 per hari. 

Baca Juga: Jumlah Penumpang Kereta Daop 6 Jogja Terus Alami Peningkatan

Indonesia sampai saat ini masih kesulitan menekan angka penularan COVID-19. Padahal pada 28 April 2020 lalu kurva pasien positif COVID-19 harusnya sudah mencapai puncak. Namun ternyata hingga 18 Mei 2020, kasusnya justru semakin naik. Kondisi serupa terjadi hingga periode 29 Mei 2020 dan terakhir 28 Juni 2020. 

"Kalau sudah begini, pemerintah harus tegas dalam melakukan on-off policy. Kalau memang muncul kasus [covid-19] baru yang signifikan akibat pelonggaran kebijakan yang diperketat lagi. Jangan karena pelonggaran, warga jadi lalai, bahkan berkerumun seperti unjuk rasa sehingga meningkatkan jumlah kasus secara signifikan," ujarnya.

Hamam menambahkan, pemda maupun pusat harusnya bisa mencontoh sejumlah negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia dan Singapura yang bisa menekan angka positif COVID-19 melalui penerapan on-off  policy. Bahkan Jepang dan Korea Selatan (korsel) yang berhasil menangani COVID-19 karena tegas menerapkan kebijakan tersebut.

Jangan sampai kejadian di Amerika Serikat, Iran, Saudi Arabia dan Brazil juga terjadi di Indonesia. Pelonggaran kebijakan di Iran, Saudi Arabia dan Brazil serta maraknya aksi unjuk rasa di Amerika Serikat memicul munculnya kasus-kasus baru COVID-19 secara signifikan.

Akibat kebijakan di sejumlah negara tersebut, angka kasus positif COVID-19 di dunia tembus 150 ribu per hari saat ini hingga total kasusnya sudah mencapai lebih dari 10 juta orang. 

Baca Juga: Banyak Orang Gowes, Dishub Jogja Pertimbangankan Penambahan Jalur Sepeda

"Sekarang ini 1 juta kasus COVID-19 baru di dunia hanya terjadi dalam kurun waktu delapan hari saja.  Hal ini berbeda dari beberapa bulan lalu ketika 1 juta kasus COVID-19 muncul dalam kurun waktu tiga bulan," tandasnya.

Karenanya Hamam berharap selain on-off policy, tracing secara efektif juga bisa dilakukan. Kalau perlu pemerintah juga melakukan pembaruan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih kompeten. Isu resuffle kabinet yang mengemuka setelah Presiden Joko Widodo mengkritik para menteri pun perlu didukung.

"Orang-orang yang kerja dalam penanganaan covid-19 sudah lelah. Empat bulan terakhir pasti dirasakan seperti empat tahun. Tidak ada energi baru untuk bisa mengubah keadaan. Karenanya jangan menunggu korban[covid-19] lebih banyak lagi, lebih baik mengganti orang-orang yang lebih tepat di bidangnya," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More