Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Sabtu, 11 Juli 2020 | 17:15 WIB
Sebanyak empat pemuda asal Jogja bersepeda ke Jakarta untuk menolak pengesahan Omnibus Law. [Dok Fajar Setyo Nugroho / harianjogja.com]

SuaraJogja.id - Sebanyak empat pemuda asal Jogja nekat bersepeda menuju Jakarta sebagai bentuk protes penolakan terhadap rencana pengesahan Omnibus Law yang akan diketok pada Kamis (16/7/2020) mendatang.

Empat pemuda tersebut yakni Fajar Setyo Nugroho, Johan Ferdian Juno, Riko Lesmana serta Pepe Hidayat. Keempatnya diketahui sudah berangkat sejak Kamis kemarin dari Gedung Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V DIY. Untuk mencapai Jakarta, mereka harus menempuh jarak sepanjang 551 km.

Dikutip dari harianjogja.com, Fajar mengungkapkan saat ini sudah sampai di wilayah Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Selanjutnya, mereka akan melanjutkan perjalanan menuju Breber, Jawa Tengah.

"Sebenarnya sudah dari bulan kemarin ada rencana sepedaan ke luar kota, khususnya ke Jakarta. Kemudian karena momentum tanggal 16 besok bertepatan dengan sidang paripurna [di Gedung DPR RI] yang isunya bisa jadi pengesahan Omnibus Law. Lalu kita temen-temen pesepeda berdiskusi. Mereka setuju melakukan aksi bersepeda dari Jogja ke Jakarta sambil membawa aspirasi penolakan Rancangan Undang Undang [RUU] Omnibus Law," kata Fajar.

Baca Juga: Karst Tubing Sedayu: Wisata Air di Pinggiran Kota Jogja

Tak mudah untuk bisa sampai ke Jakarta dengan bersepeda. Terlebih, tiga dari empat sepeda yang dipakai merupakan sepeda yang telah dimodifikasi jadi lebih tinggi. Sementara satunya lagi adalah sepeda biasa. 

Sementara itu, soal perbekalan, ia mengatakan semua kebutuhan logistik dibantu oleh solidaritas kawan-kawan jaringan mereka.

Pengesahan RUU Omnibus Law, kata Fajar adalah upaya pemerintah untuk melonggarkan laju investasi di Indonesia. Perlu jadi catatan bahwa investasi masih dipersilakan sejauh tidak merugikan masyarakat. Namun, RUU Omnibus Law justru berkata sebaliknya.

Dalam beberapa poin, RUU Omnibus Law berpotensi mengurangi hak-hak masyarakat, terutama para pekerja atau buruh. Kondisi itu kian menyulitkan kondisi para buruh yang kini terancam oleh gelombang pemutusan hubungan kerja [PHK] pasca Covid – 19 mengganggu dunia usaha dan industri.

Salah satu poin yang ia soroti adalah rencana pemerintah menggunakan Upah Minimum Provinsi [UMP] sebagai standar upah buruh.

Baca Juga: Prakiraan cuaca Jogja Hari Ini, sabtu 11 Juli 2020

"Artinya kalau memang investasi bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, kenapa nominal upah harus diturunin?" ujarnya.

Load More