Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 04 Agustus 2020 | 23:16 WIB
Penjual jamu keliling di Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Selasa (4/8/2020). [Suara.com/Hiskia]

SuaraJogja.id - Pandemi Covid-19 memberi dampak yang besar pada hampir semua sektor kehidupan masyarakat. Banyak pekerja formal yang terpaksa harus merelakan nasibnya karena terkena PHK, pun tak sedikit pula pekerja informal yang harus memutar otak agar tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perindustrian Kabupaten Bantul Agus Sulistiyana, mengatakan dampak pandemi Covid-19 sangat terasa bagi kegiatan Usaha Kecil Menengah (UKM). Hingga saat ini, masih sekitar 95 persen prosentase usaha UKM di Bantul yang terdampak.

"Hingga saat ini, perkiraan UKM di Bantul yang terdampak pandemi Covid-19 mencapai 95 persen," ujar Agus kepada SuaraJogja.id, Selasa (4/8/2020).

Agus mengatakan, Pemprov DIY pun juga sudah melakukan berbagai upaya untuk membantu pelaku usaha yang terdampak. Mulai dari memberikan pengarahan atau sosisalisasi tentang protokol kesehatan agar semua paham dan dapat melangsungkan kembali usahanya, setelah itu dilanjutkan dengan penguatan kerja sama antaraktor hingga peningkatan kapasitas pelaku usaha.

Baca Juga: Banting Stir dari Driver Online, Arif Sukses dengan Angkringan Empon-empon

Terkait dengan bantuan lain, misalnya dengan pemberian intensif bagi pelaku usaha yang terdampak, dikatakan Agus, hal itu menjadi wewenang dari pemerintah pusat.

"Itu yang pemda lakukan kecuali pemberian insentif. Kalau yang pemberian insentif dan relaksasi hutang adalah kewenangan dari pemerintah pusat," ucapnya.

Diungkapkan Agus, sebenarnya ada cukup banyak UKM di Bantul yang masuk ke dalam gerai Bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Namun karena masih dalam kondisi pandemi Covid-19 gerai di YIA tersebut belum bisa beroperasi.

"Masih terus persiapan untuk UKM yang masuk ke Bandara YIA. Sebelumnya, kita juga pernah mengadakan kerjasama atau kemitraan antar aktor dan unsur pelaku usaha dengan menggelar fashion show batik dari salah satu UKM di Bantul," jelasnya.

Agus menuturkan, meski hampir semua kegiatan usaha kecil menengah terdampak pandemi covid-19, masih ada pelaku usaha tetap bisa eksis dan malah mendapat peningkatan keuntungan.

Baca Juga: Konsumsi Empon-Empon untuk Tangkal Corona Tak Boleh Lebih dari 8 Minggu

Kecilnya prosentase usaha yang masih bisa bertahan itu tetap berpengaruh dalam menggerakkan roda perekonomian baik di masyarakat atau ke dalam Bantul sendiri.

"Salah satu UKM yang tidak terdampak pandemi Covid-19 ini adalah penjual minuman tradisional, misalnya jamu-jamu herbal dan wedang uwuh," imbuhnya.

Penjualan Jamu Meningkat

Pernyataan Agus terkait UKM jamu yang tidak terdampak Pandemi Covid-19 bukan hanya isapan jempol semata. Pasalnya, jamu atau yang lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai empon-empon itu dipercaya dapat meningkatkan daya tahan tubuh, sehingga tidak mudah terserang penyakit salah satunya Virus Corona.

Pernyataan senada juga diberikan oleh salah satu peracik jamu herbal di Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Sutrisno. Dia mengakui sempat terjadi lonjakan permintaan jamu atau empon-empon pada awal Virus Corona masuk ke Indonesia. Meskipun beberapa waktu terakhir sudah mulai menurun kembali.

"Kalau mulai bulan ini sudah mulai penjualan jamu tidak seramai saat dibandingkan awal-awal pandemi Covid-19. Namun sekitar sebulan yang lalu tergolong sangat tinggi, bahkan omzetnya jika ditotal semua dari penjual jamu yang ada naik sampai dengan 500 persen," katanya.

Dijelaskan Sutrisno, di Desa Wisata Jamu yang berada di Kiringan, saat ini tercatat ada 132 orang perajin jamu. Pun sekarang muncul 40 orang sebagai generasi baru sehingga saat ini ada sekitar 90 orang yang masih aktif berjualan.

Meski penjualan jamu masih didominasi ibu-ibu penjual jamu gendong, tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang melakukan inovasi untuk memasarkan produknya secara online.

Selain itu, mereka tidak hanya membuat jamu yang langsung dapat diminum seketika. Tetapi juga, membuat racikan bahan-bahan itu secara mentah sehingga bisa tetap awet ketika dikirim.

"Jamu gendong di sini banyak dijual ibu-ibu, tapi pesanan dari dalam kota dan luar kota seperti NTT, Jakarta, Sumatera dan lainnya tetap ada. Pesanannya juga macam-macam mulai dari jamu cair, instan, wedang uwuh dan segala macam," ungkapnya.

Sutrisno mengaku sempat merasakan harga bahan baku yang melambung tinggi beberapa bulan sebelumnya karena memang permintaan yang juga meningkat. Namun sekarang kondisi itu sudah mulai berangsur normal kembali.

Inovasi Penjual Jamu

Sementara itu, seorang perajin jamu di Dukuh Kiringan, Sudiyatmi mengatakan pada saat seperti sekarang memang menjadi berkah tersendiri bagi penjual jamu di desa tersebut. Selain mendapat banyak pesanan jamu dari berbagai daerah, penjual jamu yang ada saat ini menjadi lebih banyak melakukan inovasi.

Inovasi itu mulai dari pembuatan ramuan jamu yang menjadi tidak monoton. Jika sebelumnya penjual jamu rata-rata hanya menjual jamu beras kencur, kunir asem dan ramuan umum lainnya, kini mereka menambah racikan seperti empon-empon yang berkhasiat untuk meningkatkan imun atau anti bodi.

"Empon-empon yang kurang lebih racikannya terdiri dari temulawak, kunyit, jahe, sereh dan rempah rempah lain ini menjadi suatu terobosan sebenarnya dan permintaan banyak banget," katanya.

Diceritakan Sudiyatmi, beberapa waktu lalu, ketika masyarakat sempat melakukan pengawasan ketat terhadap pendatang yang masuk ke daerah atau kampungnya. Penjual jamu sempat kesusahan dalam mencari tempat lain untuk berjualan.

Pasalnya, tidak sedikit dari ibu-ibu penjual jamu gendong itu sudah terbiasa berkeliling ke tempat-tempat tertentu atau bisa dikatakan sudah mempunyai rute tersendiri saat berjualan. Para penjual jamu pun terpaksa harus menghentikan setiap kegiatannya berjualan keliling.

"Akses jalan ditutup, banyak penjual jamu keliling yang tidak boleh masuk sekitar satu sampai dua minggu. Namun dari situ malah muncul inovasi lainnya, yakni membuat racikan jamu hingga empon-empon secara instan untuk dijual secara online," ungkapnya.

Dikatakan Sudiyatmi, menurutnya dalam setiap kesulitan yang dilewati pedagang jamu, malah terkadang menjadi sumber ide atau inovasi baru yang dapat muncul kapan saja. Hasilnya, jualan online racikan jamu pedagang yang tak bisa berkeliling karena akses jalan desa ditutup, mendapat pesanan yang cukup banyak juga.

Ditambah lagi, pesanan itu datang tidak dari daerah lokal dalam kota saja, luar kota pun juga ikut penasaran dan akhirnya membeli berbagai jamu instan tersebut. Penjualan online yang dapat dibilang cukup berhasil itu, terus dilakukan oleh ibu-ibu pedagang jamu hingga sekarang.

"Walaupun sekarang sudah kembali di buka kembali dan bisa berjualan keliling tapi jamu instan yang dijual secara online tersebut masih terus berlanjut," katanya.

Patung penjual jamu gendong dan petunjuk arah yang terpasang di jalan sebelum masuk ke Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Selasa (4/8/2020). [Suara.com/Hiskia]

Untuk diketahui, Dusun Kiringan bisa disebut sebagai sentra jamu karena memang mayoritas dari warga yang bertempat tinggal di dusun tersebut berprofesi sebagai penjual jamu. Terlebih lagi warga perempuan yang biasanya lebih akrab dengan racik meracik jamu.

Namun, seiring dengan peningkatan jumlah pesanan dan peminat jamu dari berbagai daerah, penjual jamu pun ikut bertambah. Sama seperti yang dikatakan Sutrisno sebelumnya, bahwa ada dampak banyaknya generasi baru penjual jamu di Dusun Kiringan.

Penambahan jumlah penjualan tersebut, tidak semata-mata karena permintaan yang meningkat. Tetapi ada faktor lain di balik itu, salah satunya karena tidak sedikit juga dari warga yang sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan atau toko terpaksa harus dirumahkan bahkan di PHK karena pandemi Covid-19.

"Awalnya mereka biasanya hanya menjualkan dagangan orang tuanya yang lebih dulu menjual jamu secara keliling kini merambah online juga. Namun lama kelamaan mereka generasi baru ini akhirnya juga ikut turun berjualan jamu keliling," kata Sudiyatmi.

Bahkan, tidak hanya perempuan saja yang kali ini ikut menjual jamu. Laki-laki pun tidak malu atau sungkan ikut berkeliling menjual jamu kepada warga, karena memang terdampak Covid-19 dan juga masih ada tanggungan keluarga yang harus diberi nafkah.

Selain itu, acara hajat nikah yang masih terbatas penyelenggaraannya mengakibatkan tidak memerlukan banyak make up atau dandanan. Akhirnya, hal itu juga berdampak kepada perias pengantin yang jumlahnya cukup banyak di situ. Persoalan itu yang mengakibatkan pada akhirnya mereka beralih ke jualan jamu.

"Biasanya dibuatkan oleh orang tuanya tidak hanya perempuan sekarang laku-laki pun banyak yang ikut berkeliling. Kan ya daripada tidak bekerja sedangkan di sisi lain prospek jamu juga sedang meningkat, jadi ya kenapa tidak," ucapnya.

Dikatakan Sudiyatmi para penjual jamu biasa berkeliling mulai dari jam 06.00 pagi sampai 10.00 pagi sudah mulai pulang. Namun ada juga yang berangkat lebih siang.

Penjual jamu Dusun Kiringan juga tidak jauh-jauh dalam berkeliling menjual jamunya. Masih berada di sekitar wilayah Bantul, meskipun juga semuanya terpencar satu sama lain. Ada yang di wilayah Selarong, Krapyak, Wonosari bahkan ada yang kadang sampai Malioboro.

Senada dengan Sutrisno sebelumnya, kesulitan bahan baku pada saat awal pandemi Covid-19 juga dirasakan oleh Sudiyatmi dan pedagang jamu lainnya. Kesulitan di sini bukan dalam arti ketidakadaan bahan baku tapi lebih kepada harga yang membumbung tinggi.

Dituturkan Sudiyatmi peningkatan itu diakui memang sempat menyusahkan karena juga memang lonjakan harga itu hampir merata di semua jenis bahan baku. Jika biasanya empon-empon yang hanya dihargai Rp 3.000- Rp 5.000 kemarin sempat menjadi Rp 15.000, selain itu jahe juga sempat menyentuh harga ratusan ribu, kencur juga sama meningkat hingga Rp 60.000 dan masih banyak yang lainnya.

"Namun sekarang ya sudah kembali turun lagi karena memang juga permintaan tidak sebanyak kemarin beberapa bulan yang lalu juga," kata Sudiyatmi.

Saat ini harga empon-empon dari petani saja hanya Rp 3.000 lalu ketika sudah sampai di pedagang peracik jamu akan naik sedikit menjadi Rp 5.000. Bahan lain seperti jahe juga sama sekarang sudah turun di angka Rp 30.000 saja.

Pada akhirnya, satu hal yang digarisbawahi Sudiyatmi, bahwa ketika berjualan jamu di masa pandemi Covid-19 tidak hanya meningkatkan keuntungan karena laris dinikmati pembeli. Namun juga membuka peluang beberapa pihak untuk sementara alih profesi.

****

Salah satu penjual jamu keliling yang kebetulan lewat daerah depan rumah Bu Dukuh Kiringan menyempatkan untuk berhenti sejenak dan menjajakan jamunya. Namanya adalah Parjinem, ibu tiga orang anak ini tidak perlu menunggu lama untuk akhirnya dihadiri oleh pembeli.

Melihat keramaian itu, SuaraJogja.id sempat mendatangi Parjinem untuk menyaksikan bagaimana tangan terampilnya meracik jamu pesanan pembelinya. Mulai dari beras kencur, kunir asem hingga galian singset dan masih banyak lagi sudah menjadi teman akrabnya sehari-hari.

Penjual jamu keliling di Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Selasa (4/8/2020). [Suara.com/Hiskia]

Parjinem tidak sendiri dalam berkeliling menjajakan jamunya, ia ditemani sang suami yang setia menjadi driver untuk mengantar sang istri. Usut punya usut Parjinem pernah terjatuh karena sebuah kecelakaan motor yang membuatnya kini hanya bisa membonceng saja.

"Pernah jatuh mas jadi sekarang kalau kemana-mana diantar suami," kata Parjinem sambil tangannya meracik jamu.

Namun keterbatasan itu tidak membuatnya patah semangat lalu berhenti berjualan jamu. Apalagi di saat pandemi Covid-19 saat ini yang membuatnya lebih semangat karena penjualan meningkat.

Harga jamu yang dijual Parjinem sendiri tergolong sangat terjangkau untuk kalangan masyarakat. Mulai dari Rp.4.000-10.000 tergantung jenis jamu permintaan pelanggan.

"Sehari muter pasti habis mas, sekarang lumayan banyak pembeli. Karena memang minum jamu juga menyehatkan," imbuhnya.

Parjinem biasa berkeliling masih disebutkan Bantul, dimulai dari daerah Samalo, lalu ke Manding hingga nanti berada di sekitar RSUD Panembahan Senopati. Bahkan beberapa waktu yang lalu ia juga pernah menjajal ramainya kawasan Malioboro dan terbukti jamunya ludes diminum pembeli.

Menurut penuturan Sudiyatmi, dengan menjual jamu keliling ini Parjinem bisa mendapat keuntungan sekitar Rp.150.000 setiap harinya. Dari keuntungan itulah, Parjinem tetap bisa menghidupi seluruh keluarganya di tengah pandemi Covid-19 ini.

Berbanding Terbalik, Keuntungan Jual Salad Seret

Jika penjualan jamu terus meningkat selama pandemi Covid-19 ini justru keadaan berbalik untuk usaha lain. Salah satunya adalah penjualan Lion Salad milik Fibras Poeti Andhini di Dusun Karanggede, Pendowoharjo, Sewon, Bantul atau tepatnya di Jalan Raya Bantul KM 9,5.

Usaha salad milik Fibras memang terbilang baru. Pasalnya ia baru memberanikan diri membuka usaha salad itu sejak 6 bulan yang lalu.

"Awalnya sehabis resign dari pekerjaan juga lalu dirumah tidak ada kerjaan," ujar Fibras.

Berawal dari hobinya yang memang sudah sejak awal gemar membuat salad sayur secara mandiri. Dari situ ia sempat membagikan salad buatannya kepada teman-teman sekitarnya. Tidak diduga bahwa akan mendapat respon yang positif dari teman-temannya. Fibras lalu diberi saran untuk menjual atau membuka salad kreasinya itu.

Dari situlah usaha salad Fibras berkembang, jika sebelumnya hanya membuat salad sayur kini ia pun juga membuat salad buah karena memang cukup banyaknya peminat. Menurutnya salad merupakan makanan yang sehat dan segar untuk masyarakat.

Terlebih lagi di masa pandemi Covid-19 yang semua masyarakat diharapkan untuk terus menjaga imun atau daya tahan tubuh agar tidak terjangkit penyakit. Maka dari itu salad yang sejatinya berisi buah dan sayur bisa menjadi alternatif makanan bagi masyarakat untuk tetap menjaga kesehatan.

"Sebenarnya untungnya lumayan kalau hari-hari biasa sebelum pandemi Covid-19 bisa sampai Rp.100.000. Semenjak ada pandemi begini paling ya cuma Rp.50.000 itu juga tidak pasti," kata Fibras.

Fibras tidak memungkiri bahwa selama pandemi Covid-19 jualannya ikut terdampak karena banyak faktor. Salah satunya ketika banyaknya orang atau pekerja yang terpaksa harus dirumahkan bahkan juga tak sedikit yang harus menerima nasib untuk diPHK.

Dorongan untuk tetap beraktivitas dan bekerja karena tuntunan yang banyak itu mau tidak mau memaksa orang-orang agar tetap menghasilkan sesuatu. Salah satunya dengan membuka usaha berjualan entah makanan atau minuman secara dadakan.

"Banyak juga yang dadakan jual salad, terus karena dirumahkan otomatis penghasilan menurun. Jadi daya beli juga turun ngga seperti kalau sebelum pandemi Covid-19," ucapnya.

Menurunnya pemasukan yang berdampak pada penjualannya itu sempat membuat usaha saladnya tutup sementara. Namun akhirnya ia tetap memutuskan untuk membuka kembali dengan kepercayaan bahwa tetap akan mendapat setidaknya sedikit penghasilan.

"Masih termasuk sepi ini mas, karena orang pada berhemat. Kondisi juga belum pulih sepenuhnya. Ditambah lagi sekarang kasus Covid-19 di Bantul juga lagi tinggi," tuturnya.

Ia tetap mencoba berbagai cara agar saladnya dapat kembali dibeli oleh banyak orang. Mulai dari promosi yang digencarkan, hingga tetap tidak menjual dengan harga yang tinggi meskipun dapat dikatakan Fibras bahan bakunya pun terdapat kenaikan.

Load More