Scroll untuk membaca artikel
Dany Garjito | Hernawan
Selasa, 01 September 2020 | 20:49 WIB
Didik Nini Thowok saat ditemui SuaraJogja pada Selasa (25/8/2020).

SuaraJogja.id - Siapa yang tidak mengenal sosok Didik Nini Thowok? Didik Nini Thowok merupakan seniman tari legendaris Indonesia. Segudang karya ciptaannya telah disaksikan dan dinikmati banyak orang. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi sampai ke mancanegara.

Selama pandemi covid-19, Didik Nini Thowok tidak melangsungkan pentas secara langsung. Baru pada Bulan Agustus lalu, Didik Nini Thowok untuk pertama kalinya tampil langsung di muka umum, bertepatan dengan perayaan HUT ke-75 RI.

Pentas perdananya pasca sekitar empat bulan vacum tersebut dilangsungkan di Hartono Mall Yogyakarta dan membius mata penonton yang terkesima akan penampilannya.

Didik Nini Thowok, sang maestro seni Indonesia yang telah diakui dunia ini bersedia untuk diwawancarai oleh Tim SuaraJogja. Saat ditemui langsung di kediamannya pada Selasa (25/8/2020), Didik Nini Thowok banyak bercerita tentang aktivitasnya selama pandemi covid-19 dan tanggapannya mengenai sosial media.

Baca Juga: Pentas di Tengah Pandemi, Didik Nini Thowok: Tidak Bisa Tampil Loss

Wawancara ekslusif Didik Nini Thowok. (Doc: Suara.com)

Berikut wawancara ekslusif SuaraJogja dengan Didik Nini Thowok, seniman tari legendaris Indonesia.

SuaraJogja: Bagaimana rasanya Eyang Didik Nini Thowok bisa pentas lagi setelah vacum empat bulan?

Didik Nini Thowok: Ya senang. Cuma ada perasaan was-was karena kan kita harus selalu menerapkan protokol kesehatan. Sementara yang namanya penggemar, penonton kalau sudah mau foto kan susah ditahan. Kemarin ada yang mau foto sama aku masak tak bilang “jangan dekat-dekat” gitu kan gak mungkin. Gitu aja jadinya.

Tidak bisa los memang, seperti biasanya. Kalau biasanya wah sudah heboh-heboh gitu kan. Nah sekarang kan emang agak beda suasananya. Kita tetap harus berhati-hati dalam berdekatan dengan sesama manusia. Itu yang kemudian bikin gak los nya di situ.

Apa ada project yang gagal atau reschedule gara-gara pandemi?

Baca Juga: Vakum Lama Akibat Corona, Didik Nini Thowok Muncul Bawakan Tari Ponorogo

Banyak sekali. Mau ke China, Hongkong, Singapore, Jepang, sudah banyak bookingan sebenarnya. Kalau bookingan ke luar negeri kan memang minim enam bulan sebelumnya. Biasanya malah ada yang satu tahun sebelumnya, sudah disounding (diinformasikan), membuat kontrak. Ya untung belum ada kontrak-kontrak yang ditandatangani. Masih sifatnya penjajakan schedule atau jadwal aja.

Sebenarnya udah rencana ada job di China lanjut ke Hongkong, tapi tiba-tiba merebak corona yang tidak terduga. Dan nggak terhitung memang ada beberapa acara manten dan bookingan lain.

Selama empat bulan vacum di tengah pandemi, aktivitas Eyang apa saja?

Setiap harinya merapikan ruang koleksi karena memang kedepannya sedang menyiapkan "Omah Koleksi". Barang-barangnya belum ditata semua, masih berantakan karena Eyang masuk ke sini baru 1 Mei. Sebelumnya tidak di sini dan barang koleksi ini dititipin di rumah teman. Ada dua teman. Yang satu memakan 2 garasi full, satunya lagi cuma satu garasi full. Jadi ada 3 gudang ya. Gak enak kan titip hampir setahun. Habis itu Mei tanggal 1 harus sudah pindah ke sini. Dulu Masih kelihatan seperti kapal pecah, sampai bingung mau merapikan yang mana dulu. Saya dibantu 3 orang. Kebetulan Eyang punya 3 adik yang tinggalnya tidak terlalu jauh. Tiap hari mereka datang dan membantu karena karyawan udah libur, dirumahkan semua. Merapikannya pelan-pelan. Gak tau ya selama sekian bulan sekarang ya sudah lumayan tertata. Tapi ya belum selesai.

Didik Nini Thowok membawakan tari Jathilan di Hartono Mall untuk rayakan kemerdekaan Indonesia. - (YouTube/didikninithowok)

Apakah selama pandemi muncul ide atau inisiatif karya baru?

Banyak, seperti yg kemarin di Hartono Mall itu kejadiannya juga baru pas masa pandemi. Kebetulan punya temen dari Ponorogo sudah kesini sebelum pandemi. Memang sudah pernah ngobrol kalau suatu saat saya mau ngundang beliau, mau saya ajak menari bareng Jathilanan Ponorogo. Ternyata Sebulan yang lalu beliau sudah berani ke Jogja karena new normal kan. Ya sudah garap. Kemarin juga sudah banyak yang minta Eyang untuk tampil, ada dari kemdikbud, Balai Pelestarian Nilai Budaya, Komunitas Hindu Dharma Indonesia, BPIP, banyak. Tapi lewat daring aja.

Sejak kapan Eyang mulai ikut trend dan memakai media sosial?

Eyang emang selalu mengamati perkembangan di masyarakat, saya selalu berusaha mengikuti. Makanya eyang punya website, itu dari tahun 90-an mungkin, awal website masuk ke Indonesia, yang waktu itu masih di handle oleh Jakarta karena dulu ada 1 company yang mengurusi itu.

Sampai ketipu dulu, karena masih gaptek jadi dikerjain, Eyang upload foto baru bayar 150.000 gitu, pokoknya bayar gitu, jadi Eyang kayak gaji mereka kan ya. Terus gimana caranya Eyang belajar sendiri. Alamat web Eyang malah dijual. Ada ya orang Indonesia yang kelakuannya kayak gitu. Setelah dilacak sama teman Eyang dari Amerika, ternyata dijualnya di Australia. Waktu ditanya berapa belinya, woh berapa juta, banyak kalau tahun itu.

Lalu kalau YouTube ternyata eyang sudah mulai sejak tahun 2008 atau 2006 gitu, karena Eyang bikin pagelaran pentas itu sudah masuk ke Youtube. Tapi waktu itu tidak tahu kalau bisa dimonetize, bisa ngehasilin duit, dulu YouTube ya untuk ngeshare video pentas biar orang luar bisa nonton itu. Memang ada dampaknya juga seperti ada undangan ke beberapa universitas di Amerika, Jepang, Eropa karena lihat di YouTube Eyang awalnya. Jadi video di YouTube waktu itu hanya untuk promosi.

Tapi sejak pandemic covid-19 ini, Eyang baru tahu kalau Youtube itu menghasilkan. Baru kemudian Yayasan yang membantu saya, dia ngecek ternyata subscribernya udah 22.000 sekian. Maret kemarin digarap lebih serius, hingga sekarang udah bisa menghasilkan. Bayangkan baru 5 bulan, ya belum dapat banyak tapi paling tidak udah bisa diaktifkan. Itu yang turun tangan yayasan.

Eyang setelah ini akan mengembangkan lebih lagi tidak untuk YouTube-nya atau bahkan mau jadi Youtuber Eyang?

Kalau bisa jadi Youtuber ya syukur. Tapi ke depan tetap bikin konten YouTube karena sekarang kan di YouTube yang laris yang gak ada edukasinya. Padahal banyak banget channel yang menyisipkan muatan edukasi, yang mengangkat seni kebudayaan Indonesia. Itu kalau dinilai bagus dan bermanfaat ya, tapi kalah heboh sama yang populer dan minim makna edukasi.

Mungkin kalau eyang bikin sesuatu yang buat viral bisa kali ya, yang nari-nari gitu ya pasti viral hahaha. Mudah-mudahan ke depannya masyarakat kita akan lebih loyal terhadap tayangan-tayangan yang sarat dengan nilai dan makna.

Didik Nini Thowok saat ditemui di sanggarnya, Sabtu (11/7/2020). [Mutiara Rizka M / SuaraJogja]

Kalau Eyang sendiri membaca dan mengikuti respons warganet di media sosial Eyang tidak?

Iya, dari situ eyang melihat bagaimana penilaian masyarakat. Dari situ eyang melihat bahwa sebenarnya generasi millenial itu bukan tidak peduli sesuatu yang punya nilai, hanya saja mereka tidak tahu karena orang tuanya tidak mengenalkan ke mereka. Jadi kuncinya adalah orang tua pertama kali. Selain itu kemudian baru sekolah. Tapi kalau orang tua tidak punya wawasan budaya ya mau gimana karena nantinya itu tidak terlepas dari kaitannya dengan konten-konten yang ditonton. Itu sangat-sangat berdampak.

Sebenarnya kalau di TV sendiri itu ada yang tayangan kurang bermutu lah, tapi itu malah yang laris. Yang paling banyak ditonton, yang mendatangkan banyak duit, itu malah yang kurang makna-maknanya tadi. Itu yang terjadi di negara kita, atau entah di negara lain apakah juga kayak gitu. Kalau di Jepang ada acaranya yang konsisten edukasi budaya. Harusnya di Indonesia juga punya banyak pilihan channel TV. TV yang konsen terhadap edukasi budaya, tv yang memang hiburan, jadi ada pilihan. Tapi kalau semua TV itu hiburan yawis modar. Jadi jangan salahkan masyarakatnya jika tidak peduli seni budaya, menjadi tidak dekat dengan seni budaya itu kan salah satunya karena program TV. Itu boleh dibuktikan ya. Kalau benar ya diam aja, kalau salah jangan diikuti.

Di luar negeri sering banyak punya banyak pilihan channel Eyang.

Benar, banyak pilihan. Kenapa Indonesia tidak bikin itu, kan bisa banget. Misal satu tv itu khusus untuk bahas tradisi seluruh Indonesia. Bayangin itu gak ada tandingannya dari luar negeri. Kalau di luar negeri ada channel satwa, Indonesia aslinya juga bisa karena banyak hewan yang khas. Tapi kan belum ada yang punya pikiran kesana kan. Kita sudah punya potensi, tinggal siapa yang punya kemauan dan bisa memunculkannya. Misal kalau seni budaya di Indonesia itu ada berapa coba. Menarik, edukasi, orang Indonesia sendiri mungkin belum tahu seluruhnya, bikin jadi lebih aware tentang arti kebhinekaan dan perbedaan. Indonesia memang sarat akan hal itu, tapi kalau tidak dimunculkan akan tahu darimana. Karena kan jaraknya jauh-jauh, gak semua orang mungkin bisa datang langsung. Nah itu salah satunya bisa diselesaikan oleh TV toh.

Next Project dalam waktu dekat Eyang apa baik di media sosial atau langsung gitu?

Kalau di medsos Eyang masih menyiapkan nomor tari yang berkaitan dengan tradisi di Dayak. Kita siapkan kostumnya, musiknya. Itu didatangkan langsung ya lewat sahabat-sahabat Eyang karena emang Eyang gak suka yang imitasi. Maunya yang asli, bulu ya asli, paruh ya asli, manik-maniknya asli. Jadi Eyang bisa sebut perfectionis lah, bukan KW. Jadi Eyang memang menampilkan yang punya mutu dan berkualitas. Kalau gak gitu nanti orang asing mikir kita gak punya kualitas.

Temen dari Jepang juga memberikan kerjaan untuk bahan seminar, video tari berdasarkan cerita Ramayana sepanjang 7 menit. Inspirasinya dari Ramayana, tapi gerakannya saya yang bikin.

Sekarang juga lagi menyiapkan podcast yang bekerja sama dengan berbagai pihak. Jadi ini melibatkan banyak company karena kalau tidak kerjasama ya tidak bisa ya. Begitu juga dengan omah koleksi itu juga banyak yang bantu.

Didik Nini Thowok saat ditemui SuaraJogja pada Selasa (25/8/2020).

Target selesai kapan Eyang untuk Omah Koleksinya?

Semoga akhir tahun ini selesai karena itu bisa diakses oleh umum. Besok yang mau ke sini bayar karena memang mendidik masyarakat untuk menghargai sebuah tempat. Ini seperti museum, banyak benda bersejarah. Tapi Eyang gak mau beri nama museum, tapi "Omah Koleksi" karena bentuknya rumah. Di sini banyak koleksi, foto-foto, wayang potehi, wayang golek seperti dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jogja atau malah wayang golek dari luar negeri kayak Myanmar, dsb. Di sini ada juga dokumen penghargaan. Kalau dipajang kan bisa jadi edukasi. Mungkin gak semua orang di Jogja bahkan pernah liat wayang potehi, wayang dari Myanmar. Itu bisa liat langsung wujudnya kan beda ya dengan yang ada di Google. Kita masih punya banyak PR.

Load More