Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Mutiara Rizka Maulina
Sabtu, 19 September 2020 | 12:02 WIB
Djoko Dwiyanto mengenakan pakaian adat jawa. - (Facebook/Djoko Dwiyanto)

SuaraJogja.id - Kabar duka menyelimuti dunia kebudayaan di DIY. Ketua Dewan Kebudayaan DIY Djoko Dwiyanto meninggal dunia, Jumat (18/9/2020) pukul 10:00 WIB. Jenazah langsung dimakamkan sore harinya.

Djoko Dwiyanto belum lama dilantik sebagai Ketua Dewan Kebudayaan DIY, yakni pada akhir Juli lalu. Ia dilantik langsung oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Gedung Pracimasana pada 11 Agustus 2020 kemarin.

Setelah dilantik, Djoko sempat memiliki komitmen untuk mempercepat upaya menjadikan Sumbu Filosofi DIY sebagai warisan budaya dunia. Hingga beberapa minggu terakhir, ia bahkan masih sibuk mempersiapkan hal tersebut.

Kepergian sang budayawan terasa begitu tiba-tiba dan mengejutkan banyak pihak. Djoko semestinya mengisi jabatan Ketua Dewan Kebudayaan DIY tersebut hingga 2022. Sayangnya, baru di awal masa pengabdian, ia sudah berpulang ke pangkuan Tuhan.

Baca Juga: Dinkes Sleman: Pengawasan Pendatang Agak Kendor, Ketatkan Lagi

Semasa hidupnya, Djoko dikenal sebagai seorang ahli sejarah kuno. Ia mengabdikan hidupnya untuk membaca dan menerjemahkan prasasti berbahasa Jawa kuno. Kariernya sebagai seorang epigraf sudah berlangsung selama 30 tahun lebih.

Pria berkacamata itu mulai tertarik dengan prasasti sejak duduk di bangku kuliah pada tahun 1979.

Ketika itu ia mengadakan penelitian arkeologi dan selalu berhadapan dengan penemuan yang bukan hanya benda, tetapi juga tulisan-tulisan kuno.

Banyak prasasti kuno yang diterjemahkan oleh orang asing karena ketidakmampuan masyarakat untuk mengartikannya sendiri.

Hal itu menjadi pemicu Djoko untuk bisa menerjemahkan tulisan kuno tersebut agar tidak bergantung pada orang lain.

Baca Juga: Ban Lepas, Bus Giyono Oleng hingga Tabrak Pohon di Jalan Magelang Sleman

Djoko mulai merintis kariernya sebagai seorang epigraf sejak 1982. Kesulitan membaca aksara Jawa kuno dalam prasasti selalu jadi tantangan yang mengasyikkan untuknya.

Di Jogja sendiri, belum banyak tokoh dengan profesi sama sepertinya.

Alumnus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini juga pernah memiliki keinginan untuk mempopulerkan dua jenis penerapan ilmu epigraf.

Keinginan itu ia sampaikan saat peluncuran buku dan diskusi karyanya 'Refleksi Penelitian Epigrafi dan Prospek Pengembangannya'.

Purnatugas pada 2018 lalu, Djoko sempat mengabdi sebagai tenaga pengajar di jurusan arkeologi UGM selama 36 tahun.

Salah satu kontribusi besar Djoko adalah berhasil membaca prasasti Wanua Tengah III. Ia menutup masa pensiunnya dengan menerbitkan sebuah buku mengenai epigrafi.

Load More