Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Selasa, 13 Oktober 2020 | 19:38 WIB
Ilustrasi Samudera Pasifik. [Shutterstock]

SuaraJogja.id - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) beberapa hari terakhir menyebut, akan terjadi iklim anomali La Nina di Indonesia.

Sekretaris Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada (UGM) Andung Bayu mengatakan, La Nina adalah peristiwa turunnya suhu air laut di Samudera Pasifik di bawah suhu rata-rata sekitarnya.

"La Nina disebabkan oleh suhu permukaan laut pada bagian barat dan timur Pasifik, yang menjadi lebih tinggi daripada biasanya," kata dia, Selasa (13/10/2020).

Kejadian tersebut, kata Andung, menyebabkan tekanan udara pada ekuator Pasifik barat menurun, sehingga mendorong pembentukan awan berlebihan dan menyebabkan curah hujan tinggi dibandingkan kondisi normal di daerah-daerah yang terdampak.

Baca Juga: Curah Hujan di atas Normal Guyur 27,5 Persen Wilayah Indonesia

"Akibat tingginya curah hujan ini, bencana yang sering terjadi adalah banjir dan longsor," kata dia.

Banjir terjadi akibat simpanan permukaan tidak mampu menampung air hujan, yang lebih tinggi daripada biasanya. Sedangkan longsor disebabkan oleh peningkatan beban tanah yang semakin berat, akibat terisi oleh air hujan yang meresap ke dalam tanah.

“Jika hujan deras terus-menerus terjadi pada daerah rawan banjir, masyarakat harus waspada. Demikian juga jika muncul retakan-retakan di tebing yang merupakan tanda-tanda akan longsor," ungkapnya.

Ia menegaskan bhawa pemerintah daerah, melalui BPBD, harus siap siaga dalam menangani bencana banjir dan longsor. Hal itu dapat dilakukan dengan monitoring curah hujan dan debit sungai serta penyiapan sarana Early Warning System (EWS).

Anomali iklim ekstrim La Nina pada umumnya berlangsung hingga selesai musim penghujan, lanjut Andung.

Baca Juga: Waspada La Nina, Ini Daerah Rawan Bencana di Jawa Barat

Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Sleman Taupiq Wahyudi mengungkapkan, menggunakan anggaran biaya tambahan (ABT) sekitar Rp10 miliar, pihaknya memiliki sejumlah program pembangunan infrastruktur sebagai antisipasi pencegahan bencana banjir dan longsor di Sleman.

"Rehabilitasi saluran irigasi misalnya. Di samping itu juga sudah mendata titik rawan longsor serta membersihkan titik-titik tertentu saluran air yang mampet, agar tidak banjir," terangnya.

Menyinggung soal longsor, DPU PKP menyebutkan, titik rawan longsor di Kabupaten Sleman banyak terdapat di Kapanewon Prambanan.

"Longsor di Prambanan beda dengan daerah lain, kalau wilayah lain slidingnya kan tanah, kalau di Prambanan itu batu padas. Frontal cara perbaikannya, kami pernah kesulitan saat mencoba mengatasi longsor di sana karena ada bebatuan, ukurannya tidak kecil dan banyak jumlahnya," tuturnya.

Hanya saja, saat musim penghujan kali ini pihaknya tak memiliki program perbaikan talut. Karena perbaikan talut merupakan kegiatan rutin, berasal dari laporan masyarakat, insidental dan langsung ditangani.

"Jadi kalau perbaikan talut sepanjang sekian begitu tidak hanya, hanya spot-spot. Apakah talut yang rusak diperbaiki? Itu kami melihat prioritas tim, karena anggaran juga terbatas, kecuali kondisi kerusakannya membahayakan," paparnya.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More