Scroll untuk membaca artikel
Angga Roni Priambodo | Cesar Uji Tawakal
Selasa, 10 November 2020 | 13:07 WIB
Komunitas ojol Srikandi Gojek Jogja. (Suara.com/Yulita Futty)

SuaraJogja.id - Kamis (4/11/2020) lalu, waktu menunjukkan pukul dua siang, langit berwarna kelabu memperlihatkan tanda akan terjadinya hujan. Tiga orang perempuan duduk di bangku kayu yang terlihat masih belum mendapat sentuhan vernis ketika SuaraJogja.id menyambangi mereka.

Mengenakan jaket hijau, penanda bahwa mereka adalah pengendara ojek online (ojol). Tiga orang ini merupakan anggota komunitas ojol khusus perempuan yang bernama Srikandi Gojek Jogja.

Salah seorang perempuan tersebut mengenakan jilbab. Ia adalah Yuliastuti, warga Umbulharjo yang kini berusia 41 tahun. Di tempat itu, ia membagikan kisah alotnya perjuangan menjadi ojol, khususnya bagi mereka, kaum hawa.

Komunitas ojol Srikandi Gojek Jogja. (Suara.com/Yulita Futty)

Baru Mekar

Baca Juga: Dianggap Pelit Kebangetan, Viral Curhat Ojol Tagih Biaya Parkir Rp3 Ribu

2016, kehadiran ojol (ojek online) masih menjadi hal baru di tanah Monarki, Yuliastuti saat itu tengah mengendarai motor untuk mengantarkan penumpang menuju Terminal Jombor.

Tempat tersebut termasuk satu dari beberapa titik di Jogja yang termasuk daerah 'haram' bagi ojol atau yang biasa dinamakan Zona Merah.

"Waktu itu saya habis ngedrop penumpang di Terminal Jombor. Saat akan kembali ke rumah, saya dapat telepon. Saya tiba-tiba didatangi oleh tiga opang (ojek pangkalan, red)," ujarnya.

Daerah zona merah bagi ojol merupakan teritori khusus para ojek konvensional atau juga biasa disebut opang, di mana ojol dilarang untuk mengangkut penumpang.

Yuliastuti yang saat itu masih berusia 37 tahun pun sempat mendapat perlakuan tak mengenakkan.

Baca Juga: Bidik Segmen Baru, MV Agusta Bakal Masuk Kelas 500cc dan Motor Elektrik?

"Tiga orang ini berbadan besar. Mereka mengambil kunci motor saya. Lalu mereka mengancam saya" lanjutnya.

"Mereka bilang 'Kalau berani menjemput penumpang lagi di sini, kami tak akan segan-segan melakukan kekerasan'," lanjut Yuli.

Merasa terancam, ia pun memanggil rekannya untuk meminta bantuan. Saat cekcok berjalan alot, parang pun menjadi alat yang ampuh.

Bukan sebagai senjata untuk menumpahkan darah, melainkan sebagai piranti untuk gertak sambal, demi menyelamatkan diri.

"Salah satu opang tersebut kebetulan merupakan sosok yang disegani oleh warga sekitar. Saya ketakutan waktu itu," imbuhnya.

Pada akhirnya Yuli diselamatkan oleh rekannya. Opang ini pun meminta maaf karena terjadinya miskom.

"Padahal mulanya itu telepon bukan dari penumpang, tapi tapi mereka mengira bahwa saya tengah menjemput pelanggan, saya sampai memperlihatkan isi ponsel saya," tuturnya.

"Jika itu terjadi pada istri, ibu, anak anda, apa anda tega?," ucapnya kala itu.

Kisah ini menjadi satu di antara banyaknya kisah mengenai permasalahan yang kerap dialami oleh pengendara ojol sehari hari.

Hal itu pulalah yang membuat mereka kini berevolusi, dari yang mulanya merupakan individu, kini menjadi beregu.

Salah satu dari hasilnya adalah kemunculan grup Srikandi. Saat pertama berdiri di tahun 2016 grup ini bernama “Kartini”, namun nama tersebut diubah karena figur Srikandi yang setangguh lelaki lebih cocok untuk menggambarkan perjuangan para perempuan tangguh ini.

Ancaman “Predator”

Jika ojol laki-laki lebih rentan menjadi korban kasus kekerasan seperti begal, klitih dan persekusi opang, lain halnya dengan perempuan yang mana lebih kerap disasar oleh pelaku kejahatan seksual.

Setidaknya demikianlah penuturan Lasmi, wanita 48 tahun yang menjadi ketua pertama komunitas ojol tersebut.

Ia menuturkan bahwa komunitas ini didirikan mulanya sebagai sarana silaturahmi sesama ojol kaum hawa. Dulunya komunitas tersebut beranggotakan 30 member namun kini menjelma setidaknya sejumlah 500 orang.

Komunitas ojol Srikandi Gojek Jogja. (Suara.com/Yulita Futty)

"Kita sering berpapasan di jalan namun tak saling mengenal. Saat itu rasanya seperti mbabat alas," ungkap warga Bantul tersebut.

"Agar saling kenal, saya memberikan usul ke kantor Gojek. Mereka pun menghimpun data para pengendara ojol perempuan lalu berdirilah komunitas ini," imbuhnya.

Kehadiran grup tersebut tentu sangat membantu jika ada ojol yang mengalami masalah, termasuk tindakan asusila.

Lasmi mengatakan bahwa tindakan tak terpuji tersebut bisa memakan korban dari berbagai usia, membuat ojol wajib waspada.

"Dulu saya pernah mengantarkan makanan ke hotel. Kalau saat ini, setiap ojol yang mengantar pesanan ke kamar harus ditemani oleh satpam hotel, tapi dulunya tidak," kata ibu dengan dua anak tersebut.

"Waktu itu saya mengalami pelecehan, walaupun cuma secara verbal. Yang memesan makanan adalah lelaki hidung belang. Setelah transaksi makanan, dia tiba 'menawar' saya untuk memberikan 'layanan jasa yang lain'," lanjutnya.

"Saya kemudian melaporkan perbuatan tersebut ke kantor. Waktu itu masih belum ada istilah memviralkan pelaku," terangnya.

"Itu kenapa saat ini ojol harus ditemani satpam saat mengantar pesanan ke hotel, untuk berjaga-jaga jika ada pelanggan yang berulah," kata Lasmi.

Mencari Sesuap Nasi di Tengah Pandemi

Pandemi virus corona yang melanda Tanah Air dalam beberapa bulan terakhir membawa guncangan ekonomi bagi banyak pihak, termasuk para ojol.

Puji Lestari, pengendara ojol berusia 38 tahun, mengatakan bahwa pendapatan ojol turun drastis akibat berkurangnya pengguna layanan ojol di Jogja yang mayoritas adalah mahasiswa.

"Saat ini paling kenceng dapat Rp 150 ribu sehari, dulu minimal dapat Rp 200 ribu," kata warga Wonosari, Gunungkidul tersebut.

Di tengah masa sulit ini, ia berharap bahwa agar para pengendara ojol semakin solid.

"Harapannya kita sesama ojol semakin solid aja, silaturahminya semakin erat khususnya untuk komunitas ini," pungkas Puji.

Load More