Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Minggu, 28 Maret 2021 | 16:27 WIB
Gereja Katedral Makassar menyambut natal 2020 / [Foto SuaraSulsel.id: Lorensia Clara Tambing]

SuaraJogja.id - Tragedi bom bunuh diri menyerang Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus Makassar, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3/2021) pagi, ketika jemaat baru saja selesai mengikuti Misa Minggu Palma.

Bom meledak di gerbang gereja. Dua terduga pelaku bom bunuh diri, yang datang menaiki sepeda motor matik, tewas di lokasi dengan kondisi tubuh hancur berhamburan.

Sementara itu, belasan orang dilaporkan luka-luka akibat ledakan di Gereja Katedral Makassar pagi itu.

Saat ini Polda Sulawesi Sleatan masih melakukan pendalaman terkait jaringan teroris pengeboman di gereja tersebut.

Baca Juga: Cerita Pasutri Nyaris Jadi Korban Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral

Berbagai ungkapan duka pun disampaikan publik untuk para korban yang terdampak bom di tempat ibadah dengan gedung gereja tertua di Kota Makassar, bahkan di seluruh Sulawesi Selatan itu.

Sebagai gereja yang sudah berdiri sejak 1898, Gereja Katedral Makassar menyimpan sejarah panjang kehadiran gereja Katolik di Tanah Daeng.

Tempat ibadah umat Katolik yang terletak di Jalan Kajaolalido No 14, Makassar ini juga merupakan buah toleransi beragama di Makassar.

Sejarah bermula pada 1525. Ketika itu Makassar kali pertama disinggahi tiga pastor dan misionaris dari Portugal: Pastor Antonio do Reis, Cosmas de Annunciacio, dan Bernardinode Marvao. Seorang bruder juga turut serta bersama mereka.

Kemudian pada 1548 Pastor Vincente Viegas ditugaskan ke Makassar dari Malaka untuk melayani orang Katolik dari Portugis dan sejumlah raja serta bangsawan Sulawesi Selatan yang telah dibaptis menjadi Katolik.

Baca Juga: Gara-gara Bawa Motor Pelan, Suami Istri Terhindar dari Bom Bunuh Diri

Pada 1633, Sultan Alauddin -- Raja Gowa pertama yang memeluk Islam -- memberi umat Katolik kebebasan untuk mendirikan gereja. Kebijakan ini lantas dinilai sebagai bukti bahwa sejak zaman dulu warga Sulawesi Selatan telah menunjukkan toleransi umat beragama.

Namun akhirnya, pada 1661 para rohaniwan, bersama rakyat Portugis lainnya, harus angkat kaki dari Makassar karena gejolak politik antara VOC dan orang-orang Portugis.

Umat Katolik di kota itu pun hanya bisa dilayani sesekali dari Surabaya, Jawa Timur atau Larantuka, Flores Timur, NTT.

Kemudian pada 1892, Pastor Aselbergs, SJ dipindahkan dari Larantuka menjadi Pastor Stasi Makassar.

Tiga tahun kemudian, pada 1895, sebidang tanah dan rumah di Komedistraat -- kini Jalan Kajaolalido -- dibeli untuk kemudian menjadi lokasi dibangunnya gereja pada 1898.

Pembangunan gereja selesai pada 1900, lalu direnovasi dan diperluas sejak 1939 sampai 1941 dengan bentuk yang bertahan hingga saat ini.

Puluhan pastor telah melayani umat di Gereja Katedral Makassar. Selain itu, belasan ribu umat dibaptis dan ribuan pasang pengantin menjalani pemberkatan di gereja yang menjadi keuskupan Makassar sejak 1961 ini.

Load More