Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 08 April 2021 | 19:42 WIB
Tangkapan layar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat ikut dalam Serial Diskusi Membeda Praktik Korupsi Kepala Daerah, yang digelar Pukat UGM secara daring, Kamis (8/4/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan korupsi itu dipicu tiga hal mendasar salah satunya karena keserakahan. Hal tersebut diutarakan saat mantan Mendikbud tersebut mengikuti serial diskusi "Membeda Praktik Korupsi Kepala Daerah", yang digelar secara daring oleh Diksi Milenial Yogyakarta di Grand Tjokro Gejayan, Kamis (8/4/2021).

Dalam kesempatan itu, Anies merinci penyebab adanya praktik korupsi, Pertama, korupsi yang disebabkan oleh kebutuhan diselesaikan dengan memberikan pendapatan yang cukup untuk hidup layak. Jika kebutuhan hidup layak tidak bisa dipenuhi di tempat yang bersangkutan bekerja maka tanggungjawab di rumah yang harus ditunaikan maka harus cari yang lain.

Kedua korupsi karena keserakahan, kata Anies, sebagai sesuatu yang tidak ada ujungnya. Salah satu cara menghadapinya yakni dengan hukuman yang berat, sanksi tegas dan tidak pandang bulu.

Lalu ada yang ketiga yakni korupsi disebabkan oleh sistem. Menurutnya, situasi ini bukan karena kebutuhan bukan keserakahan tapi karena proses yang dikerjakan.

Baca Juga: KPK Terbitkan SP3 Kasus BLBI, Pukat UGM: Kemunduran dan Sangat Disesalkan

"Kondisi yang dihadapi bisa membuat dirinya dinilai bahkan terjebak dalam praktik korupsi. Nah yang ini perlu solusi sistemik. Di sinilah rongga yang terus menerus dicari terobosannya," ucapnya.

Anies menambahkan pemerintah DKI Jakarta terus melakukan inovasi terkait pengawasan dalam potensi-potensi praktik tersebut. Dari smart planing, budgeting, hingga pengadaan yang baik.

Pihaknya bahkan juga membentuk KPK Ibu Kota yang bertugas untuk membantu Gubernur untuk mengawasi dan memantau praktik yang terjadi di DKI Jakarta. Harapannya dengan itu bisa melakukan pencegahan jika ada masalah serta menindak dengan cepat dan terus-menerus melakukan improvement.

"Komitmen, yang eksplisit, proses pembiasaan atas nilai-nilai yang disepakati, serta proses pengawasan dan langkah-langkah tegas bila terjadi penyimpangan menjadi kunci," tambahnya.

Ketua Pukat FH UGM, Totok Dwi Diantoro mengatakan berdasarkan data dari KPK, pada periode 2004-2020 sudah terjadi ratusan kasus korupsi di pemerintah daerah. Tercatat sekitar 561 kasus korupsi pada rentan periode itu yang ditangani oleh KPK.

Baca Juga: Kepala Daerah Nurdin Abdullah Korupsi, Pukat UGM Soroti Biaya Politik Mahal

Jumlah itu diperkirakan menempati posisi sebesar 49 persen dari jumlah korupsi secara keseluruhan di kurun waktu 2004-2020.

"Ini tentu memprihatinkan, cita-cita reformasi tata kehidupan yang sarat akan KKN itu pasca 2003-2004 nyatanya masih terjadi," kata Totok.

Disampaikan Totok, tren korupsi di pemerintah daerah cenderung meningkat semenjak tahun 2010. Kendati tidak ada pola pasti namun kasus yang cukup tinggi terjadi pada periode 2010-2020.

"Tidak ada pola pasti, sebenarnya setelah era 2010 itu kemudian juga naik turun. Tetapi memang ada beberapa di kurun waktu 2010-2020 itu ada yang cukup tinggi yang kena KPK. Misalnya kasus Gubernur Riau setelah 2010, tepatnya 2012-2019 sempat terjadi sebanyak 3 Gubernur berturut-turut," terangnya.

Lebih lanjut, kata Totok, sejak 2004-2020 tercatat sebanyak 143 kepala daerah telah terjerat tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.

Menurutnya ada beberapa modus yang kerap digunakan pemerintah daerah untuk melakukan tindak pidana korupsi. Mulai dari perizinan, pengadaan barang atau jaza, kepegawaian, pelayanan hak-hak dasar.

Ditambah lagi terdapat beberapa faktor pendorong korupsi di pemerintah daerah itu terjadi. Lemahnya pengawasan fungsi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) tidak berjalan maksimal menjadi salah satunya.

"Minimnya transparasi dan akuntabilitas publik hingga juga tidak lepas dengan faktor biaya politik yang tinggi. Misalnya mahar politik saat pilkada berlangsung baik untuk parpol maupun vote buying. Akhirnya kepala daerah yang terpilih melakukan korupsi untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan," paparnya.

Dengan kondisi itu, maka diperlukan upaya-upaya untuk mencegah tindak korupsi terus berlanjut dengan modus serupa.

Dimulai dari perizinan dengan konsep pelayanan terpadu satu pintu, pembentukan unit pengadaan barang dan jasa, mendesain portal pengaduan yang akuntabel, merancang whistle blowing system dan membentuk unit pengendalian gratifikasi serta meningkatkan kesadaran ASN pemerintah daerah kaitannya dengan pelaporan gratifikasi.

"Itu beberapa sumbang saran bagaimana artikulasi prinsip good governance sangat punya relevansi dalam rangka untuk berkontribusi mencegah korupsi di daerah," tandasnya.

Load More