Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 12 April 2021 | 16:28 WIB
Seorang anggota paguyuban GTHNK35+ Sleman, kala dijumpai, Senin (12/4/2021).(kontributor/uli febriarni)

SuaraJogja.id - Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori Usia 35 Tahun Ke Atas (GTHNK35+) di Sleman, berbagi cerita perihal pengalaman mereka dalam menempuh jalan menjadi honorer. 

Misalnya seperti diungkapkan Tri.S, seorang tenaga kependidikan GTHNK35+ di sebuah SD Negeri, Srowolan, Pakem. Tri menyebut, menjadi tendik adalah pilihan yang ia ambil untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Menjadi tendik membawanya menjadi orang yang harus bekerja keras, sekaligus membesarkan sabar. 

"Kalau yang lain pulang jam 13.00 WIB, kami pulang sore, menyelesaikan semua urusan dan tanggungjawab," ungkap Tri, Senin (12/4/2021).

Bila dalam ketentuan pemerintah para guru umumnya bekerja selama 24 jam dalam sepekan. Ia dan rekannya sesama honorer bisa bekerja lebih dari itu. Bahkan mencapai 37,5 jam dalam sepekan. 

Baca Juga: Pasar Tiban Ramadan Diperbolehkan di Sleman, Catat Ketentuan Berikut

"Kami sudah lelah, pulang dari sekolah kita lelah sudah pulang dari sekolah, malam kerja online lagi," ujarnya. 

Kendati demikian, ia selalu mencoba menemukan motivasi dari dalam dirinya sendiri saat bekerja. Tri melihat, dirinya telah diberikan kepercayaan dan tanggung jawab dari kepala sekolah. Sehingga sebagai honorerpun, ia merasa harus memberikan yang terbaik yang ia mampu, untuk sekolah khususnya peserta didik. 

"Tak boleh putus asa," kata dia. 

Tri menjelaskan, ia mungkin ada keinginan membangun usaha atau berdagang, semata-mata untuk menambah penghasilan. Kendati demikian, hal itu tak mungkin mudah dilakukan, mengingat waktu yang ia miliki telah nyaris sepenuhnya ia dedikasikan sebagai honorer. 

"Jadi kalau presiden berikan Kepres ya hadiah bagi kami honorer ini," ucapnya. 

Baca Juga: Perempat Final Piala Menpora 2021: Prediksi PSS Sleman Vs Bali United

Sementara itu, tendik lainnya Totok Ariyanto mengatakan, bila dilihat dari nominal gaji yang ia dapatkan sebagai honorer, ia terang-terangan mengakui bahwa jumlahnya tergolong minim.

Sebagai upaya menambah penghasilan, ia memiliki usaha ternak. Karena, uang yang ia hasilkan sebagai tendik honorer, tak cukup untuk mencukupi kebutuhan dapur.

"Pajak motor saja saya telat-telat kok," terang Totok yang sudah mengabdi sebagai GTHNK selama 16 tahun itu.

Tak jauh berbeda nasibnya dengan Tri dan Totok, ada Yuda Sutawa. Lelaki yang mengaku sudah mengabdi sebagai GTHNK selama 10 tahun itu menyebut, honor yang ia dapat masih di bawah Rp1 juta. Artinya, di bawah UMK Sleman yang mencapai Rp1,9 juta. Sehingga, ia menyebut menjadi honorer berarti memiliki waktu kerja maksimal namun gaji minimal. 

Yuda tak memungkiri, Dinas Pendidikan Sleman telah memberikan reward berupa fasilitas tambahan sesuai kemampuan daerah. Hanya saja, saat ini terkendala karena refocusing anggaran untuk penanganan COVID-19. 

"Honor tak kunjung naik, padahal tiap tahun harga kebutuhan pokok selalu naik," keluh Yuda, di hadapan sejumlah wartawan.

Tendik SD N Turi 3 itu berharap, pemerintah mempertimbangkan pengabdian para GTHNK dan memberikan mereka penghargaan. Atas pengabdian dan dedikasi yang tak lagi bisa diragukan.

Berjuang hingga ke ranah legislatif dan beraudiensi dengan kepala daerah, menurut Yuda dan rekan-rekannya regulasi pembukaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama ini disyaratkan bagi yang berusia 35 tahun.

Sedangkan ia dan para tendik honorer lain, sudah mengabdi belasan tahun. Namun, usia mereka lebih dari 35 tahun. Kondisi itu menjadi kendala bila di antara mereka ingin mengikuti rekrutmen CPNS jalur umum.

Pihaknya berharap, pemerintah bisa mengangkat orang-orang seperti mereka menjadi PNS. Lewat seleksi administratif bukan jalur umum. Karena pengabdian panjang mereka sudah selayaknya bisa menjadi poin di mata pemerintah. 

GTHNK35+ tambahnya, sudah beraudiensi bersama pihak terkait di tingkat Gubernur DIY, tingkat pusat hingga menghasilkan panitia kerja (Panja) di komisi X DPR RI dan kepala staf presiden. 

"Harapan kami, sidang panja bisa mendorong pemerintah untuk menerbitkan regulasi kepada tendik. Kami berharap, Pemda mengamankan data kami agar tidak ada susupan-susupan, membuka sebanyak-banyaknya alokasi PPPK untuk  tendik," imbuh dia. 

Ketua Paguyuban GTHNK35+ Sleman Moh. Saiful Anam menjelaskan, sejumlah anggota paguyuban memiliki beban kerja yang tidak ringan. Selain menjadi tendik, mereka ada yang diminta mengajar siswa yang merupakan tanggung jawab guru PNS di sekolah. 

Paguyuban meminta Pemkab Sleman bisa memberikan ketetapan hukum dan mengusulkan ke pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan tendik honorer, khususnya yang sudah lama mengabdi.

"Kalau untuk guru, sudah ada regulasi dan formasi sebanyak satu juta orang, untuk diangkat sebagai PPPK oleh Kemendikbud. Sudah ada 50 persen kuota yang diusulkan, tapi itu guru bukan tendik, sedangkan di antara kami ada tendik misalnya Tata Usaha (TU)," tuturnya.

Menurut dia, TU dan guru tak bisa dipisahkan, demi berjalannya kegiatan sekolah dengan baik.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More