Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Selasa, 27 Juli 2021 | 09:23 WIB
Ilustrasi PPKM level 4 (Kolase foto)

SuaraJogja.id - Akademisi Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) mengkaji evaluasi penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat) di Pulau Jawa-Bali mulai tanggal 2 – 20 Juli 2021, hingga kemudian diperpanjang kembali, dengan beragam istilah, antara lain PPKM Level 3, Level 4 .

Kepala Bidang Riset dan Edukasi PSHK UII Ahmad Ilham Wibowo mengatakan, PSHK UII punya sejumlah catatan evaluasi mengenai PPKM, dimulai dengan sebuah ketidakjelasan dasar hukum.

Ilham menjelaskan, kebijakan PPKM Darurat dikeluarkan menggunakan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali beserta perubahannya. Lalu kemudian diperpanjang melalui kebijakan PPKM Level 4 yang dikeluarkan berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021.

"Dengan mendasarkan kepada ketentuan tersebut, terlihat bahwa kebijakan PPKM tidak dikenal dalam beberapa produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan pandemi," kata dia, Senin (26/7/2021).

Baca Juga: BPUM 2021: Cara Cek Penerima Rp 1,2 Juta untuk 3 Juta UMKM, Klik di Sini

Produk peraturan perundang-undangan yang dimaksud Ilham antara lain, misalnya ketika dikaitkan dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan), tidak dikenal istilah PPKM.

Pasal 49 UU Kekarantinaan Kesehatan hanya mengenal 4 bentuk tindakan, yakni: Karantina Rumah; Karantina Wilayah; Karantina Rumah Sakit; atau Pembatasan Sosial Berskala Besar.

"Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa 'PPKM tidak dikenal dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Padahal, UU Kekarantinaan Kesehatan merupakan undang-undang yang dibentuk dan dikeluarkan untuk menangani kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat, yang salah satunya ditandai dengan penyebaran penyakit menular," ungkapnya.

Selain itu, kebijakan PPKM justru hanya memilih untuk menggunakan adanya ketentuan sanksi dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, tanpa menggunakan tindakan-tindakan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai dasar dalam mengatasi pandemi Covid-19.

Hal ini ditegaskan dalam ketentuan angka ke-10 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021, angka ke-21 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2021, dan angka ke-10 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021.

Baca Juga: Ini Syarat-syarat Perjalanan Transportasi di PPKM Level 4 Hingga Level 1

Evaluasi berikutnya, dikaitkan dengan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana), pun tidak dikenal istilah 'PPKM'. Dalam Pasal 33 UU Penanggulangan Bencana mengatur 3 (tiga) tahap tindakan penyelenggaraan bencana yang terdiri dari prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana.

"Ketiga tindakan tersebut pun diarahkan dan dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana berdasarkan Pasal 11 UU Penanggulangan Bencana. Hal ini berbeda dengan kebijakan PPKM yang ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri dan dilaksanakan oleh Kepala Daerah," tuturnya.

Ia membeberkan, UU Penanggulangan Bencana menjadi dasar bagi Presiden Jokowi untuk menetapkan kondisi Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagai bencana nonalam lewat Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.

PSHK UII juga melihat, dikaitkan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Kebijakan PPKM mengatur adanya sanksi kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota yang tidak melaksanakan kebijakan PPKM dengan mendasarkan kepada sanksi yang diatu dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 78 UU Pemda. Pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 68 UU Pemda adalah jika Kepala Daerah tidak melaksanakan program strategis nasional.

"Tetapi, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 yang memuat kebijakan percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional, sama sekali tidak dikenal adanya program 'PPKM'. Artinya, kebijakan PPKM juga tidak bisa dikategorikan sebagai program strategis nasional yang dalam pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi berdasar Pasal 67 UU Pemda," papar Ilham.

Direktur PSHK FH UII Allan F.G Wardhana menambahkan, berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa penyelenggaraan PPKM tidaklah menginduk kepada undang-undang yang jelas. Serta tidak menginduk kepada UU yang mengatur terkait penanganan kedaruratan kesehatanan atau bencana non alam, yang lebih berkaitan dengan penanganan wabah pandemi Covid-19.

Di tingkat daerah, kebijakan PPKM juga mengakibatkan beragamnya pengaturan kebijakan PPKM di daerah-daerah.

Padahal beragamnya pengaturan kebijakan PPKM mengakibatkan kerancuan produk hukum di daerah. Materi muatan kebijakan PPKM yang mengikat masyarakat secara umum, tidak seharusnya dikeluarkan menggunakan produk hukum berupa keputusan, instruksi, ataupun surat edaran. Pengaturan kebijakan PPKM seharusnya dikeluarkan menggunakan produk hukum berupa peraturan.

Problem yang masuk menjadi catatan PSHK UII adalah problematik terhadap kewajiban pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pengaturan tindakan dan larangan dalam tindakan PPKM, cenderung membatasi kegiatan dan memiliki dampak ekonomi di masyarakat. Namun, di sisi lain tidak diimbangi dengan pengaturan yang jelas mengenai kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak dasar masyarakat.

"Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 8 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menegaskan jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina," tegasnya.

"Kewajiban pemenuhan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dalam masa tanggap darurat penyelenggaraan penanggulangan bencana juga diatur dalam Pasal 48 UU Penanggulangan Bencana. Pemenuhan kebutuhan dasar itu salah satunya adalah kebutuhan pangan," tambah Allan.

Allan menyebut, tidak digunakannya ketentuan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan serta UU Penanggulangan Bencana mengakibatkan kaburnya pengaturan pemenuhan kebutuhan dan hak dasar masyarakat dalam tindakan penanganan Pandemi Covid-19.

Melihat kondisi di atas, PSHK UII merekomendasikan kepada pemerintah, bahwa kebijakan penanganan pandemi Covid-19 seharusnya dikembalikan berdasarkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Namun, jika pemerintah masih memaksa untuk melanjutkan kebijakan PPKM, maka pemerintah harus memberikan pengaturan yang jelas berkaitan dengan pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat. Tentunya sebagai konsekuensi adanya tindakan pembatasan terhadap masyarakat.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More