Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 25 Agustus 2021 | 19:45 WIB
Talkshow 'Mencari Pemimpin Progresif & Filosofis di Kampus', di Pojok Taraman, Sleman yang digelar alumni Fakultas Filsafat UGM, Rabu (25/8/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Di tengah dinamika pemilihan dekan baru di Fakultas Universitas Gadjah Mada, sejumlah alumni yang tergabung dalam Komunitas Alumi Filsafat Peduli mengadakan gelar wicara bertema 'Mencari Pemimpin Progresif & Filosofis di Kampus'.

Hal itu sekaligus sebagai bentuk dari keprihatinan akibat absennya peran Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) selama ini untuk memberikan suaranya dalam sejumlah persoalan yang tengah terjadi masyarakat.

"Acara ini semacam gelar wicara mencoba menjaring calon dekan Fakultas Filsafat yang paling inovatif, progresif yang bisa memberikan terobosan-terobosan. Setidaknya gini, zaman ini kan bergerak maju lalu ada pandemi tentu itu mengubah pola belajar mengajar juga. Hal-hal semacam itu dan juga inovasi yang lain," kata Ketua Panitia Talkshow 'Mencari Pemimpin Progresif & Filosofis di Kampus', Yulianto kepada awak media, Rabu (25/8/2021).

Pria yang akrab disapa Antok itu menyebut sudah seharusnya peran filsafat itu adalah meluruskam cara berpikiran seseorang. Terlebih saat ini banyak beredar hoaks baik terkait isu politik hingga pandemi.

Baca Juga: Hakim Tak Pandang Perbuatan Juliari Kasus Serius, Pukat UGM: Itu Tidak Lepas dari Politik

"Nah kita absen di situ, tidak ada pernyataan-pernyataan untuk meluruskan, menjelaskan sesuatu secara filosofis. Itu yang menjadi keprihatinan kami beberapa alumni," ucapnya.

Ia menilai momentum pilihan dekan ini dapat jadikan batu loncatan. Untuk paling tidak bagaimana caranya membuat filsafat itu tidak berjarak dengan masyarakat.

"Bagaimana filsafat melihat situasi sekarang ini Indonesia secara filosofis, itu yang absen. Tidak ada pernyataan apa-apa terkait hoaks, padahal hoaks itu kan bagian dari sesat pikir yang harus dilawan dari filsafat," tuturnya.

Selama ini problem-problem di masyarakat itu masih luput dari pengamatan. Maka diharapkan dengan momentum pemilihan dekan ini nantinya muncul sosok pemimpin yang bisa melihat persoalan-persoalan itu supaya filsafat tidak berjarak.

"Pertanyaan apakah perguruan tinggi hanya untuk mencetak sarjana? Kan tidak, semua perguruan tinggi tentunya tidak begitu. Intinya pemimpin nantinya bisa harus lebih responsif lagi," tegasnya.

Baca Juga: Cacian Masyarakat Jadi Alasan Hakim Vonis Juliari, Pukat UGM: Cacat Logika!

Salah satu dosen Fakultas Filsafat Agus Wahyudi, saat ini masih terdapat banyak persoalan yang ada Fakultas Filsafat itu sendiri. Termasuk salah satunya adalah budaya akademik selama ini.

"Kita masih punya pengumuman di lobi, siapa yang pakai sandal jepit atau baju tertentu tidak akan dilayani. Itu saya kira merefleksikan level kesadaran kolektif kita tentang makna etik dan etiket saja masih problem. Sebenarnya soal sandal jepit, fashion dan sebagainya itu matter of etiket, sesuatu yang dalam halnya standar ngga perlu diurusi terlalu detail," kata pria yang akrab disapa AW tersebut.

Kepala Pusat Studi Pancasila itu menyatakan masih ada banyak hal yang lebih penting dan krusial untuk diurusi. Di antaranya terkait etik akademik meliputi honesty, responsibility dan lain sebagainya.

Selain itu ia juga menyoroti masih adanya semacam jarak atau kasta antara dosen dan mahasiswa. Menurutnya hal itu tidak diperlukan dalam urusannya tentang perkembangan ilmu pengetahuan.

"Padahal perkembangan ilmu pengetahuan ya dosen dan mahasiswa itu equal, saat bahas tema bareng mungkin sambil ngopi tapi juga serius. Jadi iklim akademik budaya itu yang penting. Itu yang masih menjadi kendala di kalangan filsafat itu. Lalu juga kurikulum dan bagaimana mengimprove mutu," terangnya.

Salah satu mahasiswa Fakultas Filsafat, Josardi mengatakan bahwa Fakultas Filsafat masih kurang dalam urusan merekognisi mahasiswanya. Ia menilai mahasiswa filsafat selama ini masih kerap dikategorikan sebagai sesuatu yang universal saja.

"Jadi jangan menjadikan fakultas hanya semacam sesuatu yang universal, bahwa lulusan filsafat itu menjadi filsuf. Di angkatan saya 2016 mahasiswanya ada yang menjadi pebisnis hingga influencer. Hal-hal itu yang di fakultas filsafat ngga ada. Sementara di fakultas sebelah misalnya Fisipol itu luar biasa cara mempromosikan mahasiswa dan lain-lain," ungkap Josardi.

Load More