Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 30 September 2021 | 16:25 WIB
Leo Mulyono, penyintas tragedi G30S. [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - "Sitik-sitik bangkit, bangkit apane? (Sedikit-sedikit bangkit, apanya yang bangkit?) Kalau bangkit ku hadapi. Aku ki ora PKI, ora komunis. Nek komunis pancen gawe kacau ning NKRI yo tak ganyang! (Aku itu bukan PKI, bukan komunis. Kalau komunis memang membuat kekacauan di NKRI ya juga aku ganyang)," kata Leo Mulyono dengan penuh semangat. 

Perkataan Leo itu seolah menjadi cerminan kekecewaan atas apa yang sudah ia alami selama ini. Bagaimana tidak, pria kelahiran 1945 itu adalah salah satu penyintas tragedi berdarah G30S

Usianya saat itu baru menginjak 20 tahun. Leo sudah harus berjibaku dengan kerasanya kehidupan di balik jeruji besi. Namun sayangnya ia sendiri tidak tahu apa yang menjadikannya tahanan kala itu.

Leo bercerita jauh ke belakang tepatnya sebelum tragedi itu benar-benar terjadi. Dulu, ia berkuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang sekarang telah berubah menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain bagian dari ISI Yogyakarta

Baca Juga: Berdiri Tugu Palu Arit di Palembang, Puluhan Kantor Serikat Buruh

Leo Mulyono, penyintas tragedi G30S. [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

Saat ini bangunan ASRI juga telah diubah menjadi Jogja Nasional Museum (JNM). 

"Aku baru tingkat dua kalau sekarang ya semester 4. Jadi belum apa-apa sebenarnya," ucapnya membuka cerita kepada tim SuaraJogja.id belum lama ini.

Sebagai mahasiswa pada zaman itu, Presiden Bung Karno menanamkan ke generasi muda termasuk Leo bahwa mahasiswa itu harus berorganisasi. Mendengar petuah dari sang proklamator NKRI, jiwa muda Leo bersemangat untuk bergabung dengan organisasi yang ada di ASRI saat itu.

Ada berbagai macam organisasi saat itu di ASRI. Namun Leo sudah menjatuhkan pilihan kepada organisasi CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). 

Ia menilai bahwa CGMI sangat mewakili semangat dari Presiden Soekarno dengan triloginya yakni studi sebagai mahasiswa, organisasi dan revolusi. 

Baca Juga: Kumpulan 30 Link Download Twibbon Peringatan G30S PKI

"Wah iki rodo koyo Bung Karno iki, apik iki. Saya kan mulai tertarik," imbuhnya.

Selain itu alasan ia memilih CGMI adalah karena saat masa perpeloncoan organisasi itu dinilai paling enak. Dalam artian di CGMI tidak ada atau menjatuhkan hukuman-hukuman laiknya organisiasi lainnya di kampus. Senior yang berperan di situ pun, kata Leo sangat ramah.

Leo yang saat itu milih menekuni ilustrasi grafik bahkan juga diterima baik oleh senior-senior di CGMI. Pernah pula mereka menyarankan Leo ke Sanggar Bumi Tarung jika memang membutuhkan bantuan senior dalam studinya. 

Namun usut punya usut ternyata Sanggar Bumi Tarung itu sendiri merupakan Sanggar Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal dengan Lekra. Leo mengaku juga tidak tahu menahu soal itu saat mahasiswa dulu.

"Terus saya ikut organisasi yaitu CGMI yang sekarang ternyata katanya itu kader underbouw-nya PKI. Tapi kan saat itu saya enggak ngerti itu, ngertinya saya waktu itu ya organisasi mahasiswa yang istilahnya zaman Bung Karno ya progresif atau revolusioner kayak gitu," ungkapnya. 

Dari Penjara ke Penjara

Load More