Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 04 Oktober 2021 | 19:50 WIB
Lukisan karya perupa sekaligus petani tembakau MN Wibowo tentang kehidupan buruh dan petani rokok yang akan diserahkan ke Presiden Jokowi sebagai kritik di sektor pertembakauan, Senin (04/10/2021). [Kontributor / Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie menyebut roadmap pertembakauan saat ini tak jelas. Masing-masing kementerian memiliki aturan yang saling berbenturan.

"Rezim kesehatan punya roadmap sendiri memerangi industri tembakau. Sedangkan Kemenaker punya roadmap sendiri yang juga tidak singrkon dengan kementerian perindustrian," paparnya dalam diskusi "Penghancuran Industri Hasil Tembakau di Balik Regulasi Cukai Hasil Tembakau Indonesia" di Yogyakarta, Senin (04/10/2021).

Untuk mengatasi carut marut ini, menurut Gugun, RUU Pertembakauan harus segera disahkan. Payung hukum laiknya Omnibuslaw UU Cipta Kerja yang jelas dibutuhkan untuk mengharmonisasi soal cukai, tata niaga, tenaga kerja, kesejateraan petani dan lainnya.

Apalagi RUU tersebut selama sepuluh tahun terakhir juga tak juga disahkan tanpa alasan yang jelas. Akibatnya setiap ada wacana kenaikan cukai, sejumlah pihak pun menolak dengan keras kebijakan tersebut. Yang terakhir wacana kenaikan cukai tembakau pada 2022 mendatang yang ditolak petani dan buruh rokok.

Baca Juga: Akademisi Dukung Pemerintah Lebih Adil Lindungi Sektor Pertembakauan

Dengan demikian pemerintah tidak akan menaikkan cukai setiap tahun yang mengundang pro dan kontra. Sebab desain kenaikan cukai setiap tahun itu sangat bertentangan dengan kondisi sosialogis kita. Apalagi di tingkat ekonomi nasoinal, industri tembakau, baik hulu hingga hilirnya melibatkan jutaan rakyat.

"Dalam konteks ini maksud pemerintah menaikkan cukai [tembakau] tidak semata-mata untuk menaikkan penerimaan negara tetapi karena ada intervensi asing. Kalau negara memang mau mengambil penerimaan cukai yang tinggi kita dukung asalkan kebijakan yang lain selaras," paparnya.

Gugun menambahkan, belum disahkannya RRU Pertembakauan selama sepuluh tahun terakhir karena pertarungan kepentingan antara yang pro tembakau dengan yang anti tembakau. Industri tembakau nasional pun dipengaruhi kebijakan dari Badan Kesehatan Dunia WHO.

Sementara di tingkat internal sering terjadi persaingan yang besar. Yang dirugikan tentu saja nasib pekerja, buruh dan petani tembakau. Bila persoalan ini tak segera dituntaskan maka dikhawatirkan industri rokok di Indonesia akan semakin banyak yang gulung tikar.

"Politik hukum di bidang pertembakauan ini sangat rumit, paling rumit. Kalau cukai terus saja naik maka industri rokok akan dirugikan. Pada 2017 ada 700-an pabrik, tapi saat ini tinggal 400-an pabrik rokok. Di bawah 100 yang rutin produksi bersama. Ini fakta penurunan jumlah industri," tandasnya.

Baca Juga: Tarik Ulur RUU Pertembakauan, Ada Intervensi Korporasi?

Sementara petani tembakau sekaligus perupa, MN Wibowo mengungkapkan, dirinya membuat lukisan on the spot dalam diskusi. Lukisan kanvas berukuran 2x1,5 meter tersebut akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo sebagai bentuk kritik sosial akan kebijakan cukai tembakau.

"Lukisan ini yang menggambarkan kehidupan petani dan buruh linting rokok yang terbelenggu aturan dan persaingan dan akhirnya mati perlahan-lahan," tandasnya.

Wibowo menyebutkan, dia memilih menyerahkan lukisan karyanya kepada Presiden karena tidak memiliki cara lain untuk mengekspresikan keluh kesah mereka akan kebijakan cukai yang merugikan petani dan buruh rokok. Padahal yang mereka inginkan hanya kesempatan untuk memproduksi rokok sebagai bentuk kecintaan pada bangsa.

"Banyak bangsa besar tidak punya pertanian, tapi kita punya lahan, sumber daya manusia, alat produksi tapi monggo kita lihat kesejahteraannya. Kita tidak ingin materialis tapi kecukupan akan masa depan buat anak cucu [melalui industri rokok] perlu diperhatikan," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More