Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 22 November 2021 | 20:15 WIB
[ILUSTRASI] Penyerahan Sertifikat Tanah untuk Rakyat di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (4/12).

SuaraJogja.id - Kasus kemunculan mafia tanah yang menimpa aktris Nirina Zubir tengah hangat diperbincangkan. Aset berupa tanah dan bangunan milik mendiang ibu Nirina Zubir yaitu Cut Indria Marzuki senilai Rp17 miliar raib digondol mafia tanah.

Menanggapi kejadian tersebut Pakar Hukum Tanah sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Nurhasan Ismail menjelaskan ada sejumlah celah yang dimanfaatkan oleh mafia tanah dalam melangsungkan aksinya. Termasuk dari peraturan perundang-undangan dalam bidang pertanahan.

Tak hanya itu, penggalian informasi terkait dengan administrasi pemberian hak atas tanah dan sertifikasi hak atas tanah yang pernah diterbitkan menjadi hal-hal yang perlu diperhatikan.

"Serta tidak lupa dengan kemampuan mendapatkan alat bukti kepemilikan tanah dan mengidentifikasi tanah-tanah yang ditinggalkan dan dibiarkan tidak termanfaatkan oleh pemegang haknya, itu juga," kata Nurhasan dalam keterangannya, Senin (22/11/2021).

Baca Juga: ART Nirina Zubir Juga Tipu Banyak Orang di Lampung

Menyoroti soal administrasi, Nurhasan menilai ,ada beberapa sumber administrasi pertanahan yang belum terintegrasi dengan maksimal. Hal itu menjadi salah satu peluang besar bagi mafia tanah.

Dari situ para mafia tanah akan bergerak untuk melaksanakan jaringan kinerja ilegalnya. Terlebih dengan memanfaatkan penggunaan berbagai alat bukti dari sumber administrasi yang berbeda-beda.

"Juga belum tunggalnya atau masih pluralnya tanda bukti hak membuka peluang masuknya jaringan mafia tanah dengan memanfaatkan keberadaan berbagai bentuk tanda bukti hak yang ada," ungkapnya.

Dilanjutkan Nurhasan, belum tunggalnya tanda bukti hak itu disebabkan akibat belum selesainya proses pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Sehingga masih dibuka penggunaan tanda bukti hak atas tanah yang ada sebelum UUPA. PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Di sana dijelasakan bahwa beberapa alat bukti masih diakui di samping sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, juga ada beberapa dokumen sebagai alat bukti awal yaitu Girik/Petuk/Surat Rincikan. Serta Surat Pernyataan Subjek yang menguasai Tanah secara fisik terus-menerus selama 20 tahun atau lebih bagi kepemilikan tanah yang tidak disertai alat bukti tertulis.

Baca Juga: Pakar UGM: Mafia Tanah Bermain dalam Ruang Ada dan Tiada

Ketentuan tersebut, kata Nurhasan yang telah memberi peluang pilihan bagi mafia tanah untuk beraksi. Ditambah lagi belum adanya pengaturan lebih lanjut terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat.

Hal tersebut membuat masih diakuinya alat bukti berupa penguasaan tanah secara fisik terus menerus dengan iktikad baik berdasarkan hukum adat.

”Bagi jaringan kinerja mafia tanah semua celah, baik yang terdapat dalam ketentuan hukum dan administrasi pertanahan maupun sikap abai dari pemegang hak atas tanah terbuka dijadikan peluang untuk melaksanakan kinerja ilegalnya untuk memperoleh keuntungan dan merugikan pihak lain," terangnya.

Nurhasan menyatakan diperlukan perbaikan atau penutupan celah-celah itu agar tidak disusupi oleh jaringan mafia tanah. Termasuk harus memperhatikan lebih terkait sistematisnya administrasi pertanahan terhadap tanah yang haknya berakhir.

Pasalnya kondisi itu juga telah memberikan peluang bagi masuknya jaringan mafia tanah untuk dimanfaatkan. Belum lagi dengan kebijakan pemberian HAT yang liberal akan turut membuka peluang bagi mafia tanah.

"Adanya tingkat persaingan yang tinggi antar PPAT juga dimanfaatkan oleh mafia anah untuk memperoleh dokumen peralihan hak atas tanah," tuturnya.

Menurutnya dalam memberantas mafia tanah perlu mengembangkan pedoman teknis administratif berupa pemberian peringatan. Terkhusus kepada pemegang hak atau penerima SK untuk melaksanakan kewajibannya.

Serta pernyataan secara terbuka adanya penguasaan tanah secara langsung oleh negara sekaligus rencana penggunaannya.

Mengenai upaya pencegahan konflik atas sengketa yang berasal faktor kebijakan pemberian HAT, lanjut Nurhasan dengan menata kembali kebijakan pemberian HAT. Jika karakter liberal tidak dapat diubah, maka pemberiannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan modal dan potensi tanah terlantar atau tidak produktif harus dihentikan.

"Upaya mencegah juga bisa dilakukan dengan membina PPAT baik sikap profesionalismenya maupun sikap moral pelaksanaan tugasnya, serta pengawasan oleh Kantor Pertanahan," pungkasnya.

Load More