Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 17 Januari 2022 | 12:27 WIB
Pria buang dan tendang sesajen di Gunung Semeru. (twitter @Setiawan3833)

SuaraJogja.id - Perdebatan mengenai tradisi sesajen masih terus terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, Dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Sartini menilai perlu adanya dialog yang lebih sering antarkelompok masyarakat untuk bisa lebih memahami konsep-konsep tersebut.

Dialog antarkelompok beragama itu penting untuk dilakukan. Tujuannya agar satu kelompok masyarakat dengan yang lain lebih merasa sebagai teman dan tidak memaksa orang lain untuk sama dengan apa yang ia percaya. 

"Sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati karena ikut merasakan kehidupannya sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya," kata Sartini saat dikonfirmasi awak media, Senin (17/1/2022).

Sartini menyebut di lingkungan Islam sendiri fenomena sesajen memang memunculkan banyak tafsir. Pandangan intinya adalah bahwa sesajen yang dipersembahkan untuk memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang. 

Baca Juga: Tips Diet Aman dan Sehat dari Ahli Gizi UGM, Ini yang Harus Diperhatikan

Kendati demikian, lanjut Sartini masih ada pandangan yang cukup memberi ruang untuk diperbolehkannya tradisi sesajen itu dilakukan. Hal itu tidak lepas dari sebagian masyarakat yang berpandangan semua itu hanya sebatas sebagai tradisi saja.

Sehingga memang niat permohonan tetap kepada Tuhan atau Allah bukan dari sesajen itu. Namun tidak serta merta hal itu dapat diterima atau dipahami semua masyarakat secara utuh.

"Masalahnya adalah tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial," tegasnya.

Disampaikam Sartini, keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat Indonesia mengenai tradisi sesajen sendiri adalah akumulasi dari pengalaman sepanjang hidup. Sehingga bukan tidak mungkin ada kelompok khususnya yang mengakomodasikan agama dan tradisi lebih bisa menjelaskan makna dari simbol-simbol tradisi tersebut.

Dengan harapan kemudian orang tidak lantas memahaminya sebagai sebuah mitos dan kepercayaan semata yang bila sesuatu tidak dilakukan maka akan menyebabkan hal-hal tertentu. 

Baca Juga: Skuter Listrik di Malioboro Perlu Dilindungi Kata Pustral UGM

"Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan bahkan materialistik," terangnya.

Sebelumnya diberitakan, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Al Makin meminta agar seluruh pihak memaafkan Hadfana Firdaus, mahasiswa drop out (DO) universitas tersebut yang menjadi pelaku penendang sesajen di Gunung Semeru.

"Saya Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Al Makin memohon kepada bangsa Indonesia dan seluruh warga Indonesia dan Kabupaten Lumajang agar tolong semuanya memaafkan saudara Hadfana Firdaus," kata dia, di Gedung Syaifudin Zuhri, Jumat (14/1/2022).

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam aliran kepercayaan dan apabila kita benar-benar hidup berbhinneka maka kita harus hidup selaras dan harmonis.

"Kewajiban kita memaafkan saudara kita yang mungkin khilaf dan keliru menendang sesajen. Kita ingin memberi contoh yang baik, maka kita harus lapangkan dada. Maka saya meminta kepada pihak berwajib tolong dimaafkan, karena ini sangat penting bagi bangsa Indonesia," tuturnya.

Kita bangsa yang sangat pemaaf, lanjut dia. Banyak sekali pelanggaran yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum, melanggar aturan lebih berat dan merugikan negara, itu saja kita maafkan.

"Mari kita memaafkan atas nama toleransi, keragaman, kebhinnekaan," ucapnya.

Load More