Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 11 Februari 2022 | 15:22 WIB
Yayak Yatmaka - (Instagram/@yayakyatmaka)

SuaraJogja.id - Notifikasi gawainya berdering tak seperti biasa pada Senin (7/2/2022) malam. Di salah satu grup Whatsapp-nya mulai membahas adanya aparat kepolisian yang sudah bersiap di sekitar Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.

Informasi yang dia terima, ada rencana pengukuran tanah yang akan dilakukan oleh Petugas BPN yang didampingi oleh aparat kepolisian pada Selasa (8/2/2022) siang. Yayak Yatmaka mencoba menenangkan diri sebelum memastikan agenda tersebut.

Meski tak memutuskan langsung berangkat ke Purworejo malam itu, seniman yang berdomisili di Jogja ini memilih datang ke lokasi besok paginya.

Bersama empat orang temannya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yayak Yatmaka berangkat dari Jogja pukul 10.00 WIB dan tiba di Desa Wadas sekitar pukul 12.00 WIB.

Baca Juga: Usai Kunjungi Wadas, Komisi III Desak Pemerintah Beri Penjelasan ke Publik Soal Tambang Batu Andesit yang Jadi Polemik

Yayak, pria 66 tahun ini, langsung memisahkan diri dari rekan LBH dan mencari anak-anak yang selama ini dia dampingi. Lokasi pertama yang dia datangi adalah sekolah madrasah yang ada di dekat masjid tempat warga bermujahadah selama aparat mengepung desa setempat.

"Sejak awal ketika ada kericuhan seperti ini, saya bersama teman-teman di grup itu akan melakukan penyelamatan atau mitigasi ya bahasanya, agar anak-anak dibawa ke madrasah dulu, tapi sampai sana mereka tidak ada," ujar Yayak, dihubungi SuaraJogja.id melalui sambungan telepon, Kamis (10/2/2022) malam.

Warga sekitar yang dia temui di sekitar lokasi itu menyebut anak-anak sudah aman. Yayak cukup lega mendengar kabar tersebut.

Salah satu warga yang ditangkap di Desa Wadas mendapat bogem mentah dari aparat. [Tangkapan layar akun Instagram @wadas_melawan]

Lega dengan keselamatan anak, Yayak malah merasa terancam. Di waktu yang sama, lima orang yang mengaku petugas kepolisian mendatangi dia dengan kasar.

"Saya ditanya mengapa berpisah dari teman-teman saya sejak turun dari mobil. Saya balik bertanya mereka ini siapa dan mereka mengaku dari petugas kepolisian. Saya juga menyebutkan kalau saya juga petugas, tapi petugas kemanusiaan, kan boleh juga itu. Mereka sempat mundur mendengar saya menjelaskan seperti itu," ungkapnya.

Baca Juga: Klarifikasi Warga Wadas Bawa Senjata Tajam, LBH Yogyakarta: Itu Peralatan Kerajinan dan Bertani

Kondisi itu tak bertahan lama. Salah seorang oknum petugas merangsek maju dan meminta gawai Yayak, tetapi dirinya menolak memberi karena dalam prosedur penangkapan tidak ada perampasan ponsel dari tangan warga.

Yayak memang sudah diintai sejak menginjakkan kaki di Desa Wadas, mengingat dia berpisah dari rombongan LBH Yogyakarta. Namun beruntung, secara baik-baik dirinya diajak petugas untuk ikut ke salah satu rumah di sana.

"Begitu masuk sudah ada 10 orang, kebetulan saya tahu ada petugas Polres Purworejo, lalu dia meminta saya menunggu. Nanti ada yang menjemput dan saya dikawal oleh Provos bersama lima orang. Di situ saya dijamin tidak akan dipukul atau disiksa, saya masih tenang saja waktu itu," ujar dia.

Yayak bersama sembilan orang lain akhirnya dibawa ke Polsek Bener. Di sana sudah banyak warga lain. Yayak begitu ingat total orang yang ada di dalam Polsek. Namun sepengetahuannya, ada beberapa warga yang mendapat tindakan represif dari aparat.

Berada di Polsek Bener, para warga dipanggil satu per satu untuk diinterogasi. Yayak tahu bahwa interogasi polisi tidak boleh asal dilakukan tanpa ada pendamping atau kuasa hukum.

"Saya tidak mau. Kalau itu interogasi, saya minta ada pendampingan. Akhirnya saya ditawari interview saja, di mana saya bisa menolak menjawab jika ada pertanyaan yang bagi saya tidak berkenan. Akhirnya mereka setuju dan kita interview," ujar dia.

"Saya juga menjelaskan, saya salah satu petugas pendamping anak-anak Wadas yang ketika muncul kericuhan, saya yang menangani mereka, mengingat kejadian yang pernah terjadi sebelumnya pada 23 April 2021, banyak anak yang mengalami trauma," ujar Yayak.

Suasana petugas BPN saat mengukur lahan di Desa Wadas. [Twitter/@DiniHrdianti]

Dalam interview itu, petugas juga memancing dia membuka dan memperlihatkan isi gawainya. Selain itu, Yayak juga ditanyai soal keterlibatannya dengan beberapa nama yang disebutkan petugas.

Sesuai kesepakatan di awal, wawancara itu terbatas. Yayak berhak menolak menjawab pertanyaan yang membahayakan dia dan orang lain.

Hampir lima jam mereka berada di Polsek Bener. Hingga menjelang petang, Yayak bersama warga lain dibawa ke Polres Purworejo. Waktu itu KTP mereka disita.

"Kami sempat diminta pergi, tapi malah dipanggil lagi karena petugas ini minta keterangan tambahan. Menginaplah kita seharian penuh di semacam auditorium polres itu," katanya.

Warga kembali diinterogasi dengan petugas yang berbeda. Yayak menyebut bahwa petugas ini merupakan dari wilayah lain, sehingga tidak hanya petugas Polisi di Purworejo yang menanyai 67 warga itu.

"Ada yang dipotret sebagai dokumentasi, dan kembali ditanya dengan pertanyaan yang sama dan diminta KTP untuk pendataan. Kegiatan itu terus berulang-ulang dilakukan petugas hingga pukul 03.00 WIB, Rabu (9/2/2022). Saya ikuti saja arahan mereka," tuturnya.

Yayak membeberkan, selama ditahan di Polres, ada sejumlah aktivis yang sengaja dibawa polisi berputar ke tiap polsek di wilayah Purworejo. Di situasi itu, belasan orang tersebut diduga mengalami kekerasan, mulai dari pukulan hingga tendangan.

"Saya tahu karena mereka dipisahkan dan dihajar oleh petugas aparat tersebut," ujar dia.

Seharian penuh diamankan polisi dan beristirahat di atas ubin, Yayak akhirnya mulai dibangunkan sekitar pukul 06.00 WIB. Banyak warga yang muntah-muntah akibat seharian ditahan dan diinterogasi sehingga tidur pun tak nyenyak.

Warga yang sempat ditahan polisi bertemu ibunta usai tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Bersiaplah mereka untuk dikembalikan. Awalnya 67 orang yang diamankan akan diantar dengan truk. Warga keberatan karena sejak awal polisi menyebut tidak akan menahan, tapi ternyata dilakukan penahanan seharian penuh.

"Di waktu itu polisi ingin mengantar dengan truk Saya juga bertemu rekan saya. Dia juga sebagai asisten dari Wakil Presiden yang relasinya cukup luas. Dia juga sempat menghubungi Ganjar waktu itu. Ia menanyai, perlu tidak visum teman-teman [warga] yang sempat dihajar, tapi tidak tahu kelanjutan seperti apa," kata dia.

Ia menyebut, dari komunikasi salah seorang asisten ini, yang juga rekan Yayak, pihaknya meminta warga diantar dengan bus saja. Akhirnya disepakati, dan warga lalu menandatangani surat pengembalian barang berupa handphone yang sebelumnya disita polisi. Warga juga diberi kotak berisi sembako.

"Nah di situlah baru kami dibebaskan dan sekitar pukul 14.00 WIB kita sampai di Wadas. Bingkisan itu ya cara polisi saja untuk mengganti waktu para warga yang ditahan 1 hari 1 malam," terang dia.

Bukan Kali Pertama Berurusan dengan Aparat

Penahanan di Polsek Bener hingga di Polres Purworejo yang dialami Yayak bukan kali pertama yang dirasakan seniman lulusan Seni Rupa ITB ini. Sebelumnya, pada 2004 Yayak sempat diamankan di Polres Menteng, yang pada Orde Baru (Orba) jamak diketahui hanya tinggal nama, siapa saja yang berurusan dengan aparat di sana.

Berurusan dengan aparat sudah biasa dan bukan menjadi persoalan baginya. Namun, ia lebih menyoroti konflik yang terjadi di Wadas sendiri. Yayak menyoroti, tidak harus Wadas yang dijadikan lokasi penambangan di mana IPL itu ditandatangani oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng.

"Persoalannya, ada alternatif lokasi bahkan kapasitas yang lebih besar tanpa memunculkan konflik sosial dan kultural, tapi kenapa dipaksa di Wadas, dengan alasan efisiensi Proyek Strategis Nasional (PSN)?," katanya.

Yayak menganggap PSN tak ada kaitannya dengan efisiensi, sehingga pemilihan lokasi lain harus menjadi pertimbangan pemerintah tanpa harus menimbulkan konflik seperti di Wadas. Bahkan jika ini dipaksakan, Gubernur Jateng dianggap merusak lingkungan dan tidak peduli dengan keberlangsungan hidup manusia di wilayah itu.

Spanduk warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo menolak tambang batu andesit. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

"Ini hanya tidak hanya genosida, tapi ekosida yang membantai dan merusak seluruh alam raya di Wadas. Itu hutan lo, ijo royo-royo, subur, ada sekian vegetasi buah. Anak-anak tahu dan menggambar buah yang mereka lihat di sana saat kami lakukan pendampingan," terang dia.

Pria yang sempat berlabuh ke Jerman selama 13 tahun ini tergabung dalam kelompok seni Taring Padi. Fokusnya saat ini memberi pendampingan ke anak-anak Wadas pascakericuhan 23 April 2021 lalu.

Bukan tanpa alasan, Yayak melihat satu anak usia 3 tahun yang kala itu digendong oleh ibunya dalam menghalangi aparat yang merangsek masuk ke Wadas. Ibu anak tersebut diseret, dibanting, dan dipukuli, sementara sang anak menyaksikan langsung peristiwa yang dialami orang tuanya.

"Imbas dari peristiwa tersebut, anak itu bereaksi ketika melihat polisi. 'Bunuh polisi! Bunuh polisi!' Kalau ada polisi lewat, dia bertanya, 'Hei polisi, kau yang menangkap ibuku?!' Coba, anak umur 3 tahun sudah melakukan seperti itu di tengah usianya yang baru bisa berbicara," ujar Yayak, miris.

Yayak terketuk untuk melakukan pendampingan trauma healing kepada anak-anak lewat jalan seni, termasuk membangun kecerdasan anak-anak yang telanjur menyaksikan kericuhan di desa tempatnya lahir.

Desa Wadas. (Instagram)

Ia juga melakukan perlawanan budaya dengan membuat mural terkait Wadas yang disorot publik saat kericuhan hingga gugatan warga Wadas ke Gubernur Ganjar.

Bersama Taring Padi, Yayak juga membuat wayang kardus, rontek-rontek, serta spanduk yang menyemangati warga untuk tetap mempertahankan wilayahnya dari kerusakan lingkungan.

"Karena spanduk dan wayang kardus ini dicabut operasi aparat kemarin sampai ada mural yang ditutup cat merah, oke akan kita ganti. Karena sikap kami [warga] tak berubah, meminta Gubernur Jateng mencabut IPL di desa Wadas dan memindahkan ke tempat lain dan meminta menghentikan aktivitas pertambangan," katanya.

Load More