SuaraJogja.id - Akselerasi digital yang semakin cepat di masa kini, harus diikuti dengan kewaspadaan akan berbagai modus kejahatan siber yang terus berkembang.
Kepala Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia (PUSFID UII) Yudi Prayudi mengatakan pergerakan pelaku kejahatan dalam ruang nyata mungkin dapat dengan mudah terdeteksi melalui berbagai instrumen yang diterapkan oleh aparat penegak hukum. Namun pergerakan mereka dalam ruang siber sulit dideteksi.
Jumlah kasus dan kerugian yang disebabkan oleh aktivitas kejahatan siber selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pelaku kejahatan siber bukan hanya orang yang punya ilmu dan keterampilan digital, melainkan juga awam.
"Orang yang tidak memiliki pengetahuan teknologi pun dapat dengan mudah melakukan aktivitas cybercrime melalui ketersediaan crime toolkits," ungkap Yudi, Selasa (1/3/2022).
Aktivitas kejahatan siber bahkan meningkat kompleksitas dan variasinya dari waktu ke waktu. Kejahatan siber telah membentuk sebuah ekosistem tersendiri yang semakin hari semakin tumbuh dan kuat.
"Keberadaan dark web atau blackmarket, crypto currency, underground atau un-stated people serta connected society menjadikan kejahatan siber sebagai sebuah industri tersendiri," lanjutnya.
Penanganan Bukti Digital Masih Kurang
Salah satu faktor penting dalam proses investigasi digital adalah barang bukti. Dalam hal ini terdapat dua istilah yang hampir sama, yaitu barang bukti elektronik dan barang bukti digital.
Barang bukti elektronik adalah barang bukti yang bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual. Misalnya saja komputer, telepon genggam, kamera, cakram padat, diska keras.
Barang bukti digital adalah barang bukti yang diekstrak atau di-recover dari barang bukti elektronik. Barang bukti digital memiliki sejumlah karakteristik, yakni mudah diduplikasi dan ditransmisikan, sangat rentan untuk dimodifikasi dan dihilangkan, mudah terkontaminasi oleh data baru serta bersifat time sensitive.
Mengutip apa yang dikatakan oleh Schatz (2007), Yudi menyebut bahwa penanganan bukti digital lebih sulit dibandingkan penanganan barang bukti fisik.
Namun selama ini, sejumlah regulasi yang ada di Indonesia masih berorientasi pada barang bukti fisik. Aspek penyimpanan, pencatatan informasi, kontrol aksesibilitas terhadap bukti digital, hanya diterapkan untuk kepentingan dokumentasi barang bukti fisik.
"Sementara untuk bukti digital yang sifatnya file biner masih perlu sinkronisasi dengan regulasi yang ada," tuturnya.
Ada kesenjangan mekanisme dalam penanganan barang bukti digital dibandingkan dengan barang bukti fisik.
"Ketidaksempurnaan proses penanganan bukti digital ini dapat berdampak pada hilangnya kredibilitas penegak hukum serta integritas barang bukti digital yang ditanganinya," ungkapnya.
Karena itu, diperlukan adanya kontribusi dari akademisi untuk memberikan solusi bagi terbangunnya kerangka kerja penanganan barang bukti. Baik untuk bukti fisik maupun bukti digital, yang akan mendukung aktivitas investigasi digital.
Di dalam penanganan kasus, barang bukti elektronik (fisik) dan bukti digital adalah bagian dari proses investigasi yang saling melengkapi satu sama lain. Demikian juga pada saat proses peradilan, keduanya menjadi satu kesatuan dari proses investigasi.
Penegak Hukum di Indonesia Harus Tingkatkan Pemahaman Atas UU ITE
Untuk wilayah hukum Indonesia, barang bukti digital telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hingga saat ini, Indonesia memiliki UU ITE, yaitu UU No 11 Tahun 2008 serta perubahannya melalui UU No 19 Tahun 2016 sebagai UU yang mengatur segala hal tentang teknologi informasi yang berlaku di Indonesia.
Melalui Pasal 5 pada UU ini, maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya menjadi alat bukti hukum yang sah. Namun kondisi tersebut harus memenuhi ketentuan sebagaimana pada Pasal 6 yaitu dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk dapat terpenuhinya ketentuan sebagaimana pada Pasal 6 tersebut, maka peran ahli forensik digital sangatlah penting. Ahli forensik digital yang memiliki kompetensi dan kapasitas, agar informasi elektronik, dokumen elektronik, hasil cetaknya memenuhi ketentuan agar dapat dinyatakan sah.
Hanya saja diakui, banyaknya modus baru atau semakin kompleksnya perbuatan seseorang dalam hal menggunakan sistem elektronik, --yang berdampak pada larangan dan pelanggaran--, kadang memberikan pilihan sulit kepada penyidik ataupun ahli forensik.
"Dalam kaitannya memetakan perbuatan dan bukti yang telah dilakukan menggunakan sistem elektronik yang berada dalam kendalinya," ujarnya.
Berdasarkan kajian dari peneliti sebelumnya, sambung Yudi, dalam praktik penerapan UU ITE khususnya untuk pasal pidana masih terdapat banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Baik dari aspek teknik proses pengambilan bukti elektronik, maupun kejelasan payung hukum terhadap proses penanganan dan analisis bukti elektronik.
Kendala tersebut tidak lepas dari masalah sinkronisasi peraturan hukum yang mendukung proses penanganan dan analisis bukti elektronik.
"Semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum atas UU ITE, juga harus didukung oleh pemahaman hukum yang sejalan dengan pemahaman aspek teknis yang relevan. Bila tidak, maka tujuan perlindungan dan rasa keadilan yang diharapkan dari keberadaan UU ITE tersebut akan menjadi jauh dari harapan," imbuh Yudi.
Penyidik, Jaksa, Hakim, dan Penasehat Hukum harus selalu didorong untuk meningkatkan pemahamannya dalam menerjemahkan kasus-kasus pelanggaran dalam UU ITE, lanjut Yudi.
Peningkatan pemahaman bertujuan agar aspek hukum yang menjadi dasar dari proses peradilan, juga didukung oleh pemahaman yang baik dari aspek teknis.
Program literasi yang berkelanjutan tentang aspek hukum dan teknis yang melibatkan berbagai instansi terkait, menjadi kunci penting untuk profesionalisme penanganan kasus-kasus ITE ke depan.
Keberadaan ahli teknologi informasi dan ahli forensika digital menjadi semakin penting dan dibutuhkan, untuk membantu para penegak hukum dalam mengklarifikasi berbagai kasus yang melibatkan penerapan UU ITE.
"Komunikasi yang baik antara penegak hukum dan ahli teknologi informasi atau ahli forensika digital harus dijalin dengan intensif. Agar proses-proses penegakan hukum dapat dijalankan dengan lebih profesional dan memenuhi rasa keadilan," urainya lebih lanjut.
Terakhir, dalam ranah kejahatan siber, menjadi korban maupun pelaku kejahatan sangat tergantung dari bagaimana menggerakkan ujung jari kita. Karena itu kampanye berupa edukasi 'Think Before Clicks' merupakan salah satu bentuk edukasi kepada masyarakat, untuk selalu berhati-hati dalam beraktivitas pada ruang siber.
Kontributor : Uli Febriarni
Berita Terkait
-
Aksi kejahatan Siber Ancam Perusahaan Finansial dengan Teknologi Cloud Computing
-
Awas Kejahatan Siber, Pembobol Data Bank Indonesia Incar Sektor Industri
-
Prediksi Kejahatan Siber 2022: Marak Pembobolan Data, Serangan Kripto, dan NFT
-
Waspada Kejahatan Siber, Pakar: Pengamanan Data Perlu Dilakukan dari Berbagai Sisi
Terpopuler
- Selamat Datang Penyerang Keturunan Rp 15,6 Miliar untuk Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- 6 Mobil Bekas untuk Keluarga di Bawah Rp50 Juta: Kabin Luas, Cocok untuk Perjalanan Jauh
- Keanehan Naturalisasi Facundo Garces ke Malaysia, Keturunan Malaysia dari Mana?
- 4 Rekomendasi Mobil Bekas Merek Jepang di Bawah Rp100 Juta: Mesin Prima, Nyaman buat Keluarga
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Anti Hujan Terbaik 2025: Irit, Stylist, Gemas!
Pilihan
-
7 Rekomendasi HP Murah dari Merek Underrated: RAM hingga 12 GB, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
-
9 Mobil Bekas Tahun Muda di Bawah Rp100 Juta: Nyaman, Siap Angkut Banyak Keluarga
-
5 Mobil Bekas buat Touring: Nyaman Dalam Kabin Lapang, Tangguh Bawa Banyak Orang
-
6 Skincare Aman untuk Anak Sekolahan, Harga Mulai Rp2 Ribuan Bikin Cantik Menawan
-
5 Rekomendasi Mobil Kabin Luas Muat 10 Orang, Cocok buat Liburan Keluarga Besar
Terkini
-
Mandiri Sahabat Desa Fokus pada 200 Keluarga Risiko Stunting di Yogyakarta
-
Raja Ampat Darurat Tambang? KLHK Investigasi 4 Perusahaan, Kolam Jebol Hingga Izin Bodong
-
Rapat di Hotel Dibolehkan, PHRI DIY: Jangan Omon-Omon, Anggaran Mana?
-
Sinyal Hijau Mendagri: Pemda Boleh Gelar Acara di Hotel, Selamatkan Industri Pariwisata Sleman?
-
Jemaah Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf Ungkap Penyebab Calon Haji Terlantar di Arafah