Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW
Rabu, 20 April 2022 | 16:59 WIB
ilustrasi kekerasan seksual. [ema rohimah / suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Pada 31 Agustus 2021 lalu, Mendikbudristek Nadiem Makarim telah meneken Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencagahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, atau Peremendikbud PPKS . Meski begitu, nyatanya, dalam mendampingi korban kekerasan, Lembaga Rifka Annisa Women's Crisis Center (WCC) menemui, banyak kampus belum siap mengimplementasikan aturan tersebut.

Manager Program Pendampingan Rifka Annisa Indiah Wahyu A menyampaikan, hingga kini perempuan dan anak masih rentan menjadi korban kekerasan, terutama sejak pandemi Covid-19 melanda.

"Hal tersebut dikarenakan struktur budaya patriarki menimbulkan ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki seolah diposisikan sebagai pengambil keputusan dan pemegang kekuasaan, sehingga kekuasaan tersebut berpotensi disalahgunakan jika tanpa kesadaran tanggung jawab," kata Indiah dalam Webinar Catatan Tahunan Wajah Kekerasan 2021 "Pandemi dan Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak" pada Rabu (20/4/2022).

Selain itu, pola pengasuhan dan budaya dalam masyarakat juga makin melestarikan konstruksi ketimpangan gender ini. Akibatnya, banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.

Baca Juga: RUU TPKS Disahkan, Hannah Al Rashid Nangis Bahagia

Terbukti dari data Rifka Annisa, di tahun kedua pandemi, pengaduan kasus kekerasan naik drastis hampir tiga kali lipat. Pada 2021, Rifka Annisa WCC mencatat, 947 orang mengakses layanan pendampingan kasus, baik melalui hotline, surel, maupun akses langsung ke kantor. Namun, hanya 204 orang atau 21,5 persen yang melanjutkan layanan Rifka Annisa WCC.

Kekerasan terhadap Istri (KTI) menjadi kategori kekerasan yang paling tinggi angka pelaporannya, yakni 109 kasus, diikuti kekerasan dalam pacaran (KDP)--34 kasus--hingga pelecehan seksual.

Di antara deretan kasus yang dilaporkan ke Rifka Annisa WCC tersebut, mayoritas korban kekerasan seksual adalah remaja 18-25 tahun, yang sebagian besar pelajar atau mahasiswa. Pelakunya pun beragam, mulai dari teman, kakak tingkat/senior, pacar/mantan, hingga dosen.

Sebagian besar pelaku memiliki selisih usia yang lebih tinggi dari korban, dan kampus menjadi salah satu tempat kejadian perkara (TKP).

"Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan hubungan kekuasaan tidak hanya disebabkan oleh gender saja, tetapi bisa juga karena masalah status sosial, usia, jabatan, kekayaan, pendidikan, dan seterusnya, walaupun alasan gender selalu ada di setiap ketimpangan hubungan kekuasaan. Kepemilikan kekuasaan cenderung digunakan untuk menindas orang yang tidak mempunyai atau lebih rendah kekuasaannya," ungkap Indiah.

Baca Juga: Permendikbudristek PPKS Diklaim Atasi Kasus Pelecehan Seksual di Kampus

Berbagai tantangan pun dialami Rifka Annisa dalam mendampingi korban sekalipun telah diterbitkan Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021.

Load More