Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW
Senin, 30 Mei 2022 | 19:23 WIB
Direktur LBH DIY Julian Dwi Prasetyo dalam Catahun 2021 LBH DIY di Yogyakarta, Senin (29/05/2022) - (Kontributor SuaraJogja.id/Putu)

SuaraJogja.id - Meski rezim sudah berganti, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DIY mengklaim, sistem feodal masih saja diberlakukan. Pemerintah disebut membangun infrastruktur dengan mengorbankan hak-hak warganya.

Sebut saja, kasus penolakan pembangunan Bendungan Bener yang dilakukan warga Wadas, Purworejo. Proyek yang dinilai merugikan warga dan merusak lingkungan tersebut tetap jalan terus.

"Pembangunan [bendungan bener] merupakan pelemahan supresmasi karena dilakukan dengan sistem feodal dan meningkatkan intensitas bencana iklim," papar Direktur LBH DIY, Julian Dwi Prasetyo dalam Catatan Akhir Tahun (Catahun) 2021 LBH DIY di Yogyakarta, Senin (29/05/2022).

Menurut Julian, pembangunan kawasan DIY dan Jateng selatan yang masif bukan tanpa alasan. Pemerintah menetapkan DIY dan Jateng selatan sebagai destinasi prioritas pariwisata.

Baca Juga: Pembangunan Infrastruktur Pelabuhan Pulau Enggano Bengkulu Telan Anggaran Rp 41 Miliar

Karenanya pembangunan infrastruktur di kedua wilayah tersebut sangat masif dilakukan. Hal itu sebagai agenda ekonomi politik oligarki yang dilakukan pemerintah selama beberapa tahun mendatang sebagai upaya mendukung kawasan strategis pariwisata nasional.

Padahal proyek di kawasan tersebut merugikan hak-hak warga. Kelestaria lingkungan pun terdampak seperti rumah warga rumah retak dan terjadi longsor yang menutupi perkebunan dan menutupi akses sungai.

Sementara untuk membangun kawasan tersebut, pemerintah mengandalkan sistem feodal. Sehingga terjadi pelemahan supremasi hukum.

"Masifnya pembangunan infrastruktur akan merebut ruang ruang hidup masyarakat," tandasnya.

Julian menambahkan, penyempitkan akses keadilan bagi kelompok miskin, rentan dan marginal pun terjadi, tidak hanya di tingkat nasional namun juga daerah. Di tingkat nasional, pemerintah menerbitkan sejumlah regulasi yang pro dan kontra seperti Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2020. Selain itu UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 19 Tahun 2020 serta UU Pertambangan Mineral Batubara Nomor 3 Tahun 2020.

Baca Juga: Resmikan 3 Proyek Infrastruktur di Mojokerto, Ini Harapan Bupati Ikfina

Sedangkan di level daerah, Pemda DIY menggulirkan Peraturan Gubernur (pergub) DIY nomor 1 Tahun 2021. Aturan pembatasan aksi unjuk rasa tersebut disebut membatasi akses keadilan masyarakat melalui

"Larangan demo dalam pergub itu menjadi salah satu indikator bagaimana rakyat tidak dilibatkan dalam proses demokrasi," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More