Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 01 Juni 2022 | 14:00 WIB
Brotoseno [Antara]

SuaraJogja.id - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menyoroti keputusan Polri yang tetap mempertahankan R Brotoseno di tubuh kepolisian meski sudah terbukti terlibat dalam kasus korupsi. 

Menurutnya hal itu tidak lepas dari aturan yang mendukung keputusan tersebut dapat dibuat. Termasuk yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kelemahan PP itu terdapat pada norma Pasal 12 ayat 1 huruf a yang menyebut bahwa anggota kepolisian diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas kepolisian apabila dipidana penjara berdasarkan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Serta menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada di dalam dinas kepolisian. 

"Artinya ada ketentuan ketika diberhentikan dengan tidak hormat ya di dalam ketika melakukan tindak pidana. Pertama sudah ada putusan yang inkrah, kedua menurut pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan dalam kepolisian," kata Zaenur saat dikonfirmasi awak media, Rabu (1/6/2022).

Baca Juga: Bupati Bogor Ditangkap KPK di Malam Ramadhan, Pukat UGM: Jelang Hari Raya Jadi Momen Rawan Tindak Pidana Korupsi

Adanya dua ketentuan itu, diduga Zaenur menjadi dasar untuk tidak memberhentikan R Brotoseno. Sebab dianggap menurut pertimbangan pejabat dapat dipertahankan. 

"Meskipun di penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi kalau dari sisi dasar hukum sepertinya, mungkin saya duga itu menggunakan pasal 12 ayat 1 huruf a peraturan pemerintah ini," ucapnya.

"Nah menjadi permasalahan adalah ketika seorang eks terpidana korupsi tetap dipertahankan berada dalam dinas kepolisian," imbuhnya.

Diketahui, Brotoseno merupakan eks napi korupsi cetak sawah pada tahun 2016 di Kalimantan. Dia diduga menerima suap senilai Rp1,9 miliar dari total yang dijanjikan senilai Rp3 miliar.

Ketika itu, Brotoseno berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi alias AKBP dan menjabat sebagai Kanit di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim. Suap yang diberikan kepada Brotoseno dimaksudkan untuk memperlambat proses penyidikan.

Baca Juga: Pukat UGM Minta Dewas Tak Lembek Berikan Sanksi jika Pelanggaran Etik Lili Pintauli Terbukti

Singkat cerita, pada tahun 2017 Brotoseno akhirnya divonis lima tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tiga tahun kemudian dia dinyatakan bebas bersyarat yakni pada 15 Februari 2020.

Sosok Brotoseno ini sendiri sempat ramai diperbincangkan lantaran dikabarkan berpacaran dengan Angelina Sondakh yang ketika itu tersangkut kasus korupsi proyek Wisma Atlet. Sampai pada akhirnya Brotoseno yang ketika itu menjabat sebagai penyidik KPK dikembalikan oleh Ketua KPK ke Mabes Polri.

Belakangan, Polri mengakui jika pihaknya tidak memecat Brotoseno. Salah satu pertimbangannya karena yang bersangkutan diklaim berprestasi. Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo membeberkan tiga poin pertimbangan dalam putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri atau KKEP.

Pertama, rangkaian kejadian penyuapan terhadap Brotoseno dari terpidana Haris Artur Haidir selaku penyuap dalam sidang Kasasi dinyatakan bebas (2018); Nomor Putusan: 1643-K/pidsus/2018. Tanggal 14 - 11- 2018.

Kedua, Brotoseno dianggap telah menjalani masa hukuman tiga tahun tiga bulan penjara dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lima tahun karena berkelakuan baik selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan atau Lapas.

"Ketiga, adanya pernyataan atasan AKBP R. Brotoseno dapat dipertahankan menjadi anggota Polri dengan berbagai pertimbangan prestasi dan perilaku selama berdinas di kepolisian," imbuh Sambo dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (30/5/2022).

Sambo menyebut, keputusan Sidang KKEP itu tertuang dalam Surat Putusan Nomor: PUT/72/X/2020, tanggal 13 Oktober 2020. Dalam persidangan, Brotoseno terbukti secara sah melanggar Pasal 7 Ayat (1) huruf b, Pasal 7 Ayat (1) huruf c, Pasal 13 Wyat (1) huruf a, Pasal 13 Ayat (1) huruf e Peraturan Kapolri Nomor 14 tentang KEPP.

"Dan dijatuhi sanksi berupa perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela, kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri serta direkomendasikan dipindahtugaskan kejabatan berbeda yang bersifat demosi," katanya.

Load More