SuaraJogja.id - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menyoroti banyaknya narapidana korupsi yang mendapatkan program pembebasan bersyarat. Belum lagi ditambah dari sisi pemidanaan terhadap koruptor belum cukup maksimal.
"Korupsi sebagai kejahatan ekonomi bermotif ekonomi itu juga pemidanaannya harus berorientasi kepada penjeraan secara ekonomi. Biasa disebut sebagai pemiskinan gitu ya," kata Zaenur kepada awak media, Kamis (8/9/2022).
Namun, kata Zaenur, pemidanaan dengan pemiskinan itu tidak berjalan. Sebab belum adanya undang-undang perampasan aset hasil kejahatan.
Sehingga para pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) itu masih banyak yang menyembunyikan harta hasil kejahatannya dan tidak terendus oleh aparat penegak hukum. Akibatnya pemulihan kerugian keuangan negara secara umum dalam kasus korupsi itu sangat kecil.
"Nah tidak adanya hukuman ekonomi, disinsentif secara ekonomi yang keras itu menyebabkan pelaku pidana korupsi itu menganggap bahwa potensi keuntungan melakukan korupsi itu lebih tinggi daripada risikonya. Sehingga ya orang melakukan korupsi," tuturnya.
Hal itu menjadikan pentingnya RUU Perampasan Aset untuk segera diberlakukan. Dengan aturan perampasan aset yang disahkan maka harta yang tidak dapat dijelaskan asal usulnya kemudian harus dirampas oleh negara.
"Nah saat ini pemiskinan perangkat hukumnya masih sangat lemah. Sehingga pidana badan masih sangat penting," ucapnya.
Kendati demikian, pidana badan berupa hukuman pidana penjara pun masih sangat ringan. Sebab akan ada banyak hak-hak yang diterima terpidana korupsi khususnya hak remisi.
Hak remisi kepada para koruptor itu bisa diterima dalam jumlah waktu yang sangat banyak. Sehingga memangkas banyak masa hukuman terpidana korupsi dan membuatnya cukup sebentar saja menjalani pidana sudah bisa keluar dari lembaga permasyarakatan.
Baca Juga: Pukat UGM Soal Jaksa Pinangki Bebas Bersyarat: Korupsi Sudah Tidak Dianggap Kejahatan Luar Biasa
Lemahnya perampasan hasil kejahatan, recovery, ditambah dengan pidana badan hanya sebentar sebab mendapat banyak remisi dan pembebasan bersyarat. Semua itu menjadi bukti bahwa tindak pidana korupsi itu sudah dianggap tidak sebagai extraordinary crime dan kedua hilang sudah efek jera pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Sehingga ini sekali lagi sangat menciderai rasa keadilan masyarakat," tandasnya.
Berita Terkait
-
Obral Pembebasan Bersyarat untuk Napi Korupsi, Ini Kata Mahfud MD
-
Mahfud MD Soal Puluhan Koruptor Bebas Bersyarat: Kita Tidak Bisa Ikut Campur
-
Koruptor Dapat Program Bebas Bersyarat, Mahfud MD: Pemerintah Tidak Boleh Ikut Masuk Urusan Hukum
-
Bebas Bersyarat Serentak Dalam Sehari, Denny Siregar Kritik Pedas: Koruptor Disayang oleh Negara
Terpopuler
- Siapa Pencipta Sound Horeg? Ini Sosok Edi Sound yang Dijuluki Thomas Alva Edisound dari Jawa Timur
- Jelang Ronde Keempat, Kluivert Justru Dikabarkan Gabung Olympique Lyon
- Duel Mobil Murah Honda Brio vs BYD Atto 1, Beda Rp30 Jutaan tapi ...
- Harga Mitsubishi Destinator Resmi Diumumkan! 5 Mobil Ini Langsung Panik?
- 7 Rekomendasi Tablet Murah Memori 256 GB Mulai Rp 2 Jutaan, Ada Slot SIM Card
Pilihan
-
Braakk! Bus Persib Bandung Kecelakaan di Thailand, Pecahan Kaca Berserakan
-
5 Rekomendasi HP Realme RAM 8 GB Memori 256 GB di Bawah Rp 4 juta, Pilihan Terbaik Juli 2025
-
Gerai Tinggal 26, Stok Expired Menggunung! Akuisisi TGUK Penuh Drama
-
5 Curhatan Jokowi di Depan Alumni UGM: Serangan Tak Cuma Ijazah, Merembet Sampai KKN Fiktif
-
Sisi Lain Muhammad Ardiansyah: Tangguh di Bawah Mistar, Bucin ke Pacar
Terkini
-
Misteri Kemeja Putih Jokowi di Reuni UGM: Panitia Angkat Bicara!
-
Gertak Balik! Sahabat Jokowi Geram Dituduh Settingan, Ungkap Sudah Diperiksa Polisi
-
5 Curhatan Jokowi di Depan Alumni UGM: Serangan Tak Cuma Ijazah, Merembet Sampai KKN Fiktif
-
Masih Sakit, Jokowi Paksakan Diri ke Reuni UGM: Kalau Nggak Datang Nanti Rame Lagi!
-
Tiba di UGM, Jokowi Tebar Senyum di Reuni Guyub Rukun, Nostalgia di Tengah Badai Ijazah Palsu