Pertama media sebagai konten kreator dimana membuat konten untuk platform global seperti Google, Facebook, Twitter, Intasgram, TikTok.
Media sebagai konten kreator atau konten provider, ujar Suwarjono, ancamannya adalah media jadi tergantung dengan platform tersebut.
Lalu ada media dengan berbasis berlangganan di mana hal ini menurut Suwarono, cukup berat. Ada juga bisnis media sebagai display.
"Membuat media sebagai tempat display sebagai outlet sementara bisnisnya di tempat lain. Saya kebayang 2024, media sebagai outlet dipakai calon-calon [Pemilu]," ujarnya.
Keempat media dikelola berbasis donor yang memiliki konten niche.
"Kelima adalah menggabungkan banyak model. Dia menggunakan ekosistem digital baik untuk distribusi bagi digital, agensi, PH. Lima model ini menarik tapi butuh model baru lagi supaya tidak stagnan," ujar Suwarojono.
Bicara soal desentralisasi media menurut Suwarjono, keberlangsungannya yang jadi bahasan penting.
"10 tahun lalu model online yang dibuat berbasis artikel, 10 tahun terakhir sudah banyak gambar, belakangan video di Youtube. Dua tahun terakhir terjadi disrupsi lagi itu adalah di platform video pendek dan vertical video. Ini membuat semua pengelola media mengubah template dari media panjang ke short video dan mengubah ke vertical video," kata mantan Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) periode 2014-2017 itu.
Karena itu semua tantangan yang dihadapi media lokal ini akan dibahas tuntas di acara LMS 2022.
Baca Juga: IMS Sebut Tiga Hal Ini Jadi Tantangan Media Lokal di Indonesia
Sementara itu Wakil Ketua Dewan Pers Agung Darmajaya mengatakan, di era media digital saat ini jumlah media bertambah.
"Tapi kadang kita lupa media tumbuh berkembang banyak, tapi jadi sampah," ujarnya.
Menurut Agung yang perlu dipikirkan saat ini adalah bagaimana keberlangsungan media yang ada saat ini. Di tengah kompetisi semakin ketat kata Agung, pemilik media butuh kreativitas serta inovasi.
"Kalau bicara regulasi sudah khatam. Tapi bagaimana setelah hadir, bagaimana mereka hidup," tuturnya.
Tantangan ke depan, menurut Agung, kode etik menjadi penting di atas segalanya. Termasuk juga dampak dari pemberitaan itu.
"Membuat berita jangan hanya membuat gaduh. Kita bicara tidak hanya konten media, tapi juga knowledgenya dan keberlangsungannya," ujar Agung.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menambahkan kegiatan media sangat berkait erat dengan kegiatan literasi.
"Media apapun akan ditinggal kalau tidak mendidik," ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Pilihan Produk Viva untuk Menghilangkan Flek Hitam, Harga Rp20 Ribuan
- 7 Mobil Bekas di Bawah Rp50 Juta untuk Anak Muda, Desain Timeless Anti Mati Gaya
- 7 Rekomendasi Mobil Matic Bekas di Bawah 50 Juta, Irit dan Bandel untuk Harian
- 5 Mobil Mungil 70 Jutaan untuk Libur Akhir Tahun: Cocok untuk Milenial, Gen-Z dan Keluarga Kecil
- 7 Sunscreen Mengandung Niacinamide untuk Mengurangi Flek Hitam, Semua di Bawah Rp60 Ribu
Pilihan
-
Trik Rahasia Belanja Kosmetik di 11.11, Biar Tetap Hemat dan Tetap Glowing
-
4 HP Memori 512 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer dan Konten Kreator
-
3 Rekomendasi HP Infinix 1 Jutaan, Speknya Setara Rp3 Jutaan
-
5 HP Layar AMOLED Paling Murah, Selalu Terang di Bawah Terik Matahari mulai Rp1 Jutaan
-
Harga Emas Naik Setelah Berturut-turut Anjlok, Cek Detail Emas di Pegadaian Hari Ini
Terkini
-
Stunting Sleman Turun Jadi 4,2 Persen, Rokok dan Pola Asuh Masih Jadi Musuh Utama
-
Demokrasi di Ujung Tanduk? Disinformasi dan Algoritma Gerogoti Kepercayaan Publik
-
Jalan Tol Trans Jawa Makin Mulus: Jasa Marga Geber Proyek di Jateng dan DIY
-
Batik di Persimpangan Jalan: Antara Warisan Budaya, Ekonomi, dan Suara Gen Z
-
Dinkes Sleman Sebut Tren Kasus ISPA Naik, Sepanjang 2025 Tercatat Sudah Capai 94 Ribu