Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 07 Januari 2023 | 11:53 WIB
Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy menyampaikan keterangan saat berlangsungnya HUT ke-50 partai berlambang kakbah di Kantor DPP PPP Jakarta pada Kamis (5/1/2023). [Suara.com/Bagaskara]

SuaraJogja.id - Mantan narapidana kasus korupsi Romahurmuziy atau yang akrab disapa Romy kembali bergabung di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Romy sendiri diketahui terkena operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag). 

Setelah dijatuhi vonis 2 tahun penjara, Romy bisa menghirup udara kebebasan sejak April 2020. Terbaru, Romy bahkan menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Periode 2020-2025.


Menanggapi hal tersebut, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menilai kembalinya Romy hingga mendudukan jabatan penting di PPP semakin membuktinya sejumlah hal. Pertama terkait dengan rendahnya komitmen partai politik terhadap anti korupsi. 


"Ini menunjukkan rendahnya komitmen partai politik terhadap anti korupsi. Karena mereka yang pernah tersangkut sebagai terpidana korupsi masih diberi kesempatan lagi untuk duduk di posisi penting partai, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa," ujar Zaenur, Sabtu (7/1/2023). 

Baca Juga: Didorong untuk Jadi Wapres, PPP DIY Pastikan Sandiaga Uno Hadir dalam Silaturahmi Akbar di Kridosono


Padahal, kata Zaenur, mereka yang pernah menjalani pidana karena melakukan tindak pidana korupsi itu berarti pernah melakukan perbuatan mengingkari amanah. Perbuatan itu bahkan termasuk mencoreng dan merugikan nama partai.


Kedua, disampaikan Zaenur, hal ini menunjukkan buruknya kaderisasi dari partai politik. Seolah tak ada sosok lain yang dapat menduduki jabatan dalam partai tersebut selain mantan narapidana.


"Seakan-akan tidak ada kader lain yang mumpuni mampu untuk menduduki jabatan penting. Sehingga harus kader yang pernah menjadi terpidana korupsi itu dipercaya duduk lagi di jajaran pengurus partai," terangnya. 


Kemudian ketiga, menurut Zaenur, tidak ada standar etik yang tinggi di partai politik. Sehingga mereka yang pernah punya atau tergolong cacat etik masih diberikan kesempatan lagi untuk duduk di dalam kepengurusan parpol.


Ia menilai tren seperti ini justru akan sangat merugikan parpol itu sendiri. Pasalnya masyarakat akan melihat partai yang bersangkutan merupakan sarang para pelaku tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Target Kursi di Pemilu 2024, Pepep Saepul Hidayat : Kita Raih Kembali Suara


"Seakan-akan seperti itu masyarakat melihatnya. Kenapa mereka yang pernah terpidana pun diberikan posisi-posisi penting itu. Seharusnya mereka yang pernah terpidana korupsi itu tidak diberikan posisi penting di partai," ungkapnya.


"Apabila masih mau berkegiatan di partai politik ya silahkan saja menjadi kader biasa, bahkan seharusnya diberhentikan sebagai pengurus dan sebagainya," imbuhnya.


Walaupun di satu sisi, semua orang yang selesai menjalani pidana berhak untuk kembali terintegrasi di masyarakat. Tetapi bukan berarti mereka perlu untuk diberikan posisi penting di dalam sebuah partai politik.


"Kenapa? Ya karena eks terpidana korupsi tersebut adalah orang yang pernah mencedari nilai-nilai integritas di partai, dijabatan publik. Sudah menjadi konsekuensi bagi mereka untuk tidak diberikan lagi amanah di jabatan partai, harusnya seperti itu," pungkasnya.

Load More