Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin
Kamis, 23 Februari 2023 | 14:26 WIB
Poppy Sulistyaning Winanti.(Dokumentasi Pribadi)

SuaraJogja.id - Komitmen terhadap perdagangan bebas tanpa hambatan perlu dikelola oleh suatu rezim internasional yang mengutamakan aturan main dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dengan tetap membuka ruang fleksibilitas bagi negara dalam memitigasi tantangan ekonomi politik global terkini.

Untuk memastikan adanya rezim perdagangan internasional yang kuat tersebut, satu hal penting yang harus dilakukan adalah mereformasi organisasi perdagangan internasional World Trade Organisation (WTO) melalui tiga aspek penting. Pertama, mendorong penerapan kembali embedded liberalism yang memungkinkan peran negara dalam tatanan perdagangan bebas.

Kedua, pengelolaan perundingan di dalam WTO dengan mekanisme plurilateral dimana perundingan tetap melibatkan banyak negara namun dengan jumlah yang lebih terbatas dan memungkinkan setiap anggota memilih dan memilah kesepakatan baru secara suka rela yang sesuai dengan kepentingan dan tingkat kemajuan ekonomi masing-masing. Ketiga, kesepakatan di antara negara-negara anggota untuk membahas agenda-agenda yang mendesak yang terjadi akibat tantangan perubahan iklim dan transformasi digital.

Pemikiran tersebut disampaikan Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti dalam pidato saat Pengukuhan Guru Besar yang diselenggarakan di Balai Senat Gedung Pusat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (23/2/2023). Pidato yang disampaikan bertajuk Menimbang Kembali ‘embedded liberalism’ untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateralisme Perdagangan Internasional.

“Dalam situasi dunia kontemporer saat ini, sebuah rezim perdagangan yang kuat sangat diperlukan, bukan yang lemah seperti sekarang. WTO saat ini sedang mengalami stagnasi dalam mengelola perdagangan internasional yang berprinsip multilateral. Artinya, saat ini terjadi benturan antara upaya negara-negara anggota untuk mencapai tujuan nasional masing-masing dengan komitmen internasional untuk mematuhi prinsip-prinsip perdagangan bebas,” kata Poppy.

Menurut Poppy, stagnasi tersebut diakibatkan dua hal. Pertama, WTO sendiri mengalami kendala secara organisasi, yaitu adanya kekosongan Appelate Body dan gagalnya serangkaian upaya mencapai perjanjian penting sejak 2001 ketika Doha Development Agenda (DDA) diluncurkan. Appelate Body adalah salah satu organ dalam WTO yang bertanggung jawab menangani kasus-kasus sengketa perdagangan.

Kendala di dalam WTO tersebut terjadi ketika konstelasi politik dunia tengah mengalami dinamika besar dengan kemunculan negara-negara kekuatan ekonomi baru. Kedua, aturan-aturan perdagangan lintas negara yang didesain dengan cara lama gagal merespons situasi global berubah dengan cepat. Misalnya, perdagangan internasional saat ini tidak hanya berupa barang dan jasa namun juga perdagangan digital (e-commerce).

Selain itu, dampak dari perubahan iklim yang semakin nyata terutama bagi ketahanan energi dan ketahanan pangan, perlu respons cepat dari negara yang bisa berimplikasi tidak hanya mendistorsi perdagangan namun juga membatasi akses pasar.

“Oleh karenanya, reformasi WTO perlu dilihat dalam narasi penerapan kembali embedded liberalism yang tidak dimaknai untuk sekedar melanggengkan kapitalisme negara, tetapi suatu keharusan bagi setiap negara dalam merespons persoalan yang muncul. Yang perlu dipastikan juga adalah bagaimana agar mekanisme perundingan secara plurilateral tidak memunculkan distrust di antara negara anggota,” jelas Poppy.

“Untuk mendorong reformasi tersebut, perlu upaya dan langkah strategis yang dapat dimulai dari membangun koalisi tidak hanya di antara sesama negara berkembang selatan atau Global South namun juga di kalangan negara-negara yang memiliki pandangan melampaui pemisahan Global South dan Global North,” ujarnya.

Load More