Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 03 Juni 2025 | 19:26 WIB
Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang kerap disorot atas kebijakan-kebijakannya yang di luar nalar.

Menurut Dedi, dalam Bahasa Sunda tidak dikenal istilah bahasa halus atau kasar secara mutlak. Setiap wilayah di Priangan Timur dan Priangan Barat memiliki struktur bahasa yang berbeda dan memiliki latar belakang sejarah masing-masing.

"Jangan merasa minder hanya karena tidak bisa berbicara dengan gaya bahasa halus. Gunakan saja bahasa yang sehari-hari kita pakai. Kita ini makhluk kasar, bukan makhluk halus," ujar Dedi.

Ia menambahkan bahwa tingkatan tertinggi dari berbahasa adalah ‘bahasa rasa’—yakni bahasa yang muncul dari hati, bukan yang dibuat-buat.

"Bahasa rasa itu otentik. Jadi ketika seorang pemimpin berbicara dengan bahasa yang apa adanya dan berasal dari jiwanya, maka rakyat akan mendengarnya dengan hati," jelasnya.

Baca Juga: Kontroversi Program Barak Militer Dedi Mulyadi, Pemerintah Turun Tangan, KPAI Angkat Bicara

Ia juga mengutip petuah dari Abah Anom,

"Kalau bicara dengan lidah, terdengarnya di telinga. Tapi kalau bicara dengan hati, sampai ke rasa," ujar Dedi.

Dedi juga menyinggung istilah 'ewe' yang sering dianggap kasar di wilayah Priangan Timur. Padahal di Priangan Barat, kata tersebut digunakan secara umum untuk menyebut perempuan.

"Ucapan saya hari ini biasa saja. Coba cek ensiklopedia. Di Priangan, kata 'ewe' dianggap kasar dan tidak sopan. Padahal artinya adalah perempuan dalam Bahasa Sunda. Mengapa jadi tabu? Karena kita malu mengucapkannya. Rasa malu ini muncul dari rasa rendah diri," tegasnya.

Artikel yang tayang di Jogja.suara.com ini telah terbit di Suara.com dengan judul: Dedi Mulyadi Mau Anak Sekolah Masuk Jam 6 Pagi, Komisi X DPR: Tolong Dikaji Dulu Secara Mendalam

Baca Juga: Wacana Buku Cetak di Sekolah Rakyat Jadi Penyelamat, Industri Percetakan Dapat Angin Segar

Load More