SuaraJogja.id - Dunia politik Indonesia kembali dihebohkan oleh pernyataan mantan Rektor UGM periode 2002-2007, Prof. Sofian Effendi.
Dalam sebuah siaran di kanal YouTube, ia dengan lantang mempertanyakan keabsahan ijazah S1 milik Presiden Joko Widodo.
Pernyataan ini sontak menjadi bahan bakar baru bagi isu lama yang tak pernah benar-benar padam.
Namun, dalam sebuah plot twist yang mengejutkan, Sofian Effendi secara resmi mencabut seluruh ucapannya.
Banyak yang menduga ada intervensi atau tekanan dari pihak universitas atau bahkan kekuasaan.
Namun, pengakuan Sofian justru membuka tabir yang jauh lebih kompleks dan relevan bagi generasi milenial dan anak muda: bahaya miskonsepsi ruang privat di era digital dan munculnya "tekanan" dari arah yang tak terduga.
"Salah Panggung": Tragedi Obrolan Internal yang Tayang Live
Sumber utama dari kekisruhan ini, menurut pengakuan Sofian, adalah kesalahpahaman fundamental.
Ia mengira sedang berada dalam sebuah forum diskusi tertutup, semacam telekonferensi dengan sesama alumni UGM.
Baca Juga: Jokowi Dipolisikan Rismon Sianipar soal Ucapan di Dies Natalis UGM 2017? Polda DIY Bilang Begini
Sebuah ruang yang ia anggap sebagai ranah kebebasan akademik untuk "omong-omong" santai.
"Iya saya nggak menyangka bahwa dipublikasikan. Saya hanya bilang ini kita hanya omong-omong dengan para alumni dari kota-kota lain," ungkap Sofian ditemui di Sleman, Kamis (17/7/2025).
Ia merasa konteks pembicaraannya telah dibingkai ulang untuk konsumsi publik tanpa persetujuannya.
"Enggak dijebak, tapi kalau diframing omongan saya itu mungkin. Tapi saya enggak sadar," imbuhnya.
Sofian menegaskan bahwa pembicaraan itu layaknya obrolan orang dalam.
"Iyes, memang omongan saya itu yang enggak pantes diomongkan. Iyes [pembicaraan] antar alumni, pembicaraan orang dalam lah," ucapnya.
Kisah ini menjadi pelajaran pahit: di zaman sekarang, batas antara obrolan warung kopi dengan siaran pers global bisa setipis layar ponsel.
Apa yang dianggap sebagai diskusi internal dapat dengan mudah menjadi konsumsi viral dalam hitungan menit.
Bantah Tekanan UGM, Siapa Sebenarnya yang 'Membungkam'?
Spekulasi liar langsung merebak pasca-pencabutan pernyataan.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, bahkan secara terbuka mencuit adanya upaya "pembungkaman" terhadap Sofian Effendi.
Narasi yang terbangun adalah sang profesor mendapat tekanan dari almamaternya, UGM.
Namun, Sofian dengan tegas membantahnya.
Ia menyatakan klarifikasi itu murni inisiatifnya untuk menjaga hubungan baik dengan Rektor UGM dan mendinginkan suasana.
Lalu, jika bukan UGM, siapa yang memberikan tekanan? Jawabannya terungkap dari pesan WhatsApp yang diterima Sofian.
"[Mungkin] yang dinamakan pembungkaman oleh kawan-kawan itu itu ada surat [link berita online] dari Jokowi lovers itu. Ada di WA, saya dikirimi surat itu, akan mengadukan saya kepada bareskrim," ungkap Sofian.
Ternyata, 'pembungkam' yang dimaksud bukanlah institusi besar, melainkan ancaman pelaporan ke Bareskrim Polri oleh kelompok relawan Barisan Jokowi Lovers (BJL).
Ancaman inilah yang diakuinya cukup membuat khawatir dirinya dan keluarga, meskipun ia tidak menerima teror dalam bentuk lain.
Babak Baru Polemik Politik: Efek Jera dari Relawan
Fenomena ini menyoroti pergeseran dinamika politik di Indonesia.
Tekanan terhadap figur publik atau oposisi tidak selalu datang dari 'atas' atau negara secara langsung.
Kelompok relawan atau pendukung yang militan kini menjadi aktor kuat yang mampu menciptakan efek jera (chilling effect) melalui jalur hukum.
Bagi anak muda yang kritis, ini adalah sebuah realita baru yang harus dipahami:
Kekuatan Massa Digital: Kelompok pendukung dapat dengan cepat memobilisasi opini dan tindakan hukum.
Perang Narasi: Isu tidak lagi sekadar benar atau salah, tetapi siapa yang paling cepat dan masif dalam membingkai narasi.
Risiko Ujaran: Setiap pernyataan di ruang publik (atau yang dianggap publik) memiliki risiko hukum yang nyata, seringkali dipicu oleh reaksi kelompok masyarakat.
Pada akhirnya, Sofian Effendi berharap polemik ini diakhiri demi menjaga ketenangan UGM dan persatuan bangsa.
"Karena kalau itu perpanjang itu akan merugikan UGM sendiri, dan juga merugikan persatuan bangsa ini," tandasnya.
Kisah Sofian Effendi ini berevolusi dari sekadar isu ijazah Jokowi menjadi sebuah studi kasus tentang literasi digital, kebebasan berpendapat, dan peran kelompok relawan dalam peta politik modern Indonesia.
Sebuah pelajaran berharga bahwa di era ini, setiap kata yang terucap berpotensi menjadi bola liar yang sulit dikendalikan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
5 Fakta Kemenangan 2-1 Real Madrid Atas Barcelona: 16 Gol Kylian Mbappe
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
Terkini
-
Rusunawa Gunungkidul Sepi Peminat? Ini Alasan Pemkab Tunda Pembangunan Baru
-
Kominfo Bantul Pasrah Tunggu Arahan Bupati: Efisiensi Anggaran 2026 Hantui Program Kerja?
-
Miris, Siswa SMP di Kulon Progo Kecanduan Judi Online, Sampai Nekat Pinjam NIK Bibi untuk Pinjol
-
Yogyakarta Berhasil Tekan Stunting Drastis, Rahasianya Ada di Pencegahan Dini
-
Tangisan Subuh di Ngemplak: Warga Temukan Bayi Ditinggalkan di Kardus