Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 01 Agustus 2025 | 21:34 WIB
Direktur Pusat Sains Lanskap Berkelanjutan (PSLB) Instiper Yogyakarta, Agus Setyarso di Jogja. [Hiskia/Suarajogja]

SuaraJogja.id - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menghadapi tekanan ekologis serius.

Jika dibiarkan ekosistem yang ada perlahan bakal mulai lenyap.

Direktur Pusat Sains Lanskap Berkelanjutan (PSLB) Instiper Yogyakarta, Agus Setyarso, mengatakan setidaknya ada dua faktor utama yang menjadi ancaman lanskap alam DIY.

Pembangunan yang tak memperhatikan kelestarian lingkungan serta lemahnya tata kelola hutan rakyat.

"Peta hari ini adalah lanskap di DIY itu ada ancaman terhadap ekosistemnya. Ekosistem Merapi, ekosistem Gunungkidul, ekosistem Kulon Progo, itu ancamannya makin bertambah," kata Agus saat ditemui wartawan, Jumat (1/8/2025).

Agus menyoroti banyaknya pembangunan di DIY yang dilakukan tanpa pertimbangan dampak lingkungan jangka panjang. Padahal, lanskap Merapi hingga Kulon Progo memiliki fungsi penting.

Termasuk di Gunungkidul juga yang erat dengan ketersediaan air dan perlindungan keanekaragaman hayati.

"Pembangunan-pembangunan itu tidak dirancang dengan mempertimbangkan konsekuensi lingkungan," tegasnya.

Diungkapkan Agus, hutan rakyat di DIY kini jauh lebih luas dibanding hutan negara, yakni 50 ribu hektare berbanding 16 ribu hektare.

Baca Juga: Marak Bendera One Piece Berkibar jelang HUT RI, Pakar Sebut Bentuk Rasa Muak Rakyat pada Negara

Namun sayangnya, hutan rakyat itu nyaris tak terurus. Pasalnya tidak ada lembaga maupun aturan khusus yang kemudian mengelolanya.

Hal ini berakibatnya pada maraknya praktik tebang pohon untuk kebutuhan jangka pendek. Tanpa kemudian memikirkan pola pemanfaatan yang berkelanjutan.

"Jadi masyarakat yang hari ini mau mantu, ya hari ini hutan ku tak tebang," ucapnya

Program Perhutanan Sosial Gagal

Agus turut menyoroti program perhutanan sosial yang digagas pemerintah. Program itu dinilai tidak berhasil membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

"Alasannya adalah program pemerintah untuk perhutanan sosial yang paling prioritas itu membagikan lahan pada masyarakat. Memberikan SK perhutanan," ujar Agus.

Menurut dia, banyak masyarakat hanya menunggu investor setelah menerima Surat Keputusan (SK) perhutanan sosial untuk mengelola ratusan hingga ribuan hektare lahan.

Sebab, tidak ada pendampingan yang kemudian menjelaskan arah pemanfaatan lahan tersebut.

"Enggak ada yang dampingi. Mereka mau apa? Karena enggak ada yang dampingi, yang sebagian besar mereka lakukan adalah menunggu kalau ada investor mau nanam apa, investor mau bikin apa, yang itu lalu banyak yang lahan-lahan yang menganggur," tegasnya.

"Selama area perhutanan sosial itu tidak mendatangkan uang ke saku masyarakat, itu pasti gagal," imbuhnya.

Ancaman Perubahan Iklim dan Gagal Panen

Jika berbagai program itu dan pola keberlanjutan lingkungan itu tak berhasil dilakukan maka muncul ancaman lain. Hal yang paling terasa adalah perubahan iklim.

Agus bilang perubahan suhu dan pola hujan dapat memicu gagal panen besar-besaran di masa depan.

"Dari perubahan iklim itu misalkan suhu naik 2 derajat celcius, kemudian musim tanam bergeser 2 bulan. Itu sudah mengacaukan semua cocok tanam di DIY," tuturnya.

Untuk itu, Agus menekankan pentingnya insentif dan pendampingan kepada masyarakat dalam mengelola hutan rakyat secara berkelanjutan.

Diversifikasi komoditas juga tak kalah penting untuk menghindari kerugian saat harga pasar salah satu hasil hutan jatuh.

"Kalau jagung gak berbunga, kita dagang makanan ternak dari daun jagung," tandasnya.

Butuh Pendamping Agroforestri Andal

Sebagai respons terhadap kondisi itu, Fakultas Kehutanan dan PSLB Instiper Yogyakarta menginisiasi program Summer Course Agroforestri Industrial.

Tujuannya, membekali para pendamping perhutanan sosial agar makin profesional dalam mendampingi masyarakat mengelola lanskap secara berkelanjutan dari hulu ke hilir.

"Goal utamanya biar para penggiat dan pendamping perhutanan sosial makin jago secara profesional dalam usaha agroforestry berkelanjutan," ucap Agus.

Salah satu fokusnya adalah pengembangan agroforestri berbasis kayu ringan bernilai ekonomi tinggi yang tahan banting terhadap perubahan iklim.

Diharapkan hadirnya pendamping agroforestri industrial yang memiliki kompetensi dalam pendekatan lanskap cerdas dapat berpengaruh pada kelangsungan lanskap di Indonesia.

Rawana selaku Dekan Fakultas Kehutanan Instiper Yogyakarta menegaskan bahwa pendamping agroforestri itu penting untuk mampu menjembatani antara kebijakan, pengetahuan teknis, dan kebutuhan masyarakat.

Ia menambahkan, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya diedukasi soal nilai kawasan hutan.

"Fakta di lapangan kehutanan tidak serta-merta. Masyarakat belum diedukasi kawasan hutan yang kemudian memberikan nilai. Dibutuhkan banyak pendamping, ini kunci keberhasilan," ujar Rawana.

Adapun Summer Course dengan tema "Nurturing Agropreneurs: Mendorong Profesionalisme Pendamping Agroforestri untuk Lanskap Berkelanjutan" itu akan digelar pada 4-8 Agustus 2025.

Load More