Budi Arista Romadhoni
Selasa, 25 November 2025 | 18:21 WIB
Amelita Tarigan, guru SMP Gotong Royong, Kota Yogyakarta mengajar di sekolah. [Suara.com/Putu]
Baca 10 detik
  • Guru Bahasa Inggris SMP Gotong Royong Yogyakarta, Amelita Tarigan, hadapi tantangan kesejahteraan dan perubahan Kurikulum Mendalam.
  • Implementasi kurikulum baru sulit karena siswa kesulitan dasar; AI membuat siswa tampak mampu namun tidak paham konsep.
  • Guru menghadapi masalah gaji tidak optimal dan tantangan kerjasama dengan wali murid yang mendikte proses pendidikan.

Namun teman-teman guru lain di sekolah tidak bernasib sama. Mereka tidak mendapatkan gaji yang layak,  baik dari yayasan yang memang tak sanggup memberikan gaji besar karena keterbatasan sumber dana maupun dari Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDa) maupun BOS dari pemerintah pusat.

"Jadi guru sekolah kami yang belum tersertifikasi hanya dapat gaji dari BOSDa sebesar Rp 400 ribu per bulan, mudah-mudahan bisa naik, katanya mau naik Rp 500 ribu," jelasnya.

Lita menambahkan, realitas di lapangan di lapangan dalam mengajar saat ini jauh lebih rumit. Banyak orang tua menyerahkan seluruh proses pendidikan hanya kepada sekolah.

Padahal tanggungjawab anak tak hanya sekolah namun juga orang tua dan pemerintah. Di balik dedikasi yang tinggi untuk menerima siswa tidak mampu secara ekonomi maupun akademis untuk tetap bersekolah, sering muncul rasa terluka ketika kerja keras guru dianggap salah.

"Dukanya itu kalau bertemu wali murid yang susah diajak kerja sama. Ada wali murid, yang terlalu pintar berbicara, sok tahu, mendikte guru saat anaknya berbuat salah. Kami sebagai guru serba salah, kalau mau menghukum nanti bisa masuk ke ranah hukum, tapi kalau tidak dididik baik, mereka susah diajak belajar, jadi serba salah," tandasnya.

Karenanya di Hari Guru ini, Lita dan mungkin guru-guru lainnya berharap ada perubahan di dunia pendidikan Indonesia meski tak banyak. Apalagi suara mereka yang paling tahu kenyataan di lapangan sering tak didengar. 

Belum lagi kebijakan efisiensi anggaran yang semakin mencekik sekolah swasta, termasuk mendapatkan murid untuk diajar. Para guru membutuhkan penghargaan alih-alih  slogan. Mereka juga butuh kepastian, bukan eksperimen kebijakan, butuh kesejahteraan yang tidak sekadar janji belaka.

"Nggak apa-apa efisiensi, tapi kalau menuju kualitas, jangan terus menerus mengubah kebijakan setiap ganti Menteri, kami yang akhirnya sering direpotkan," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Baca Juga: Mengejutkan! Ternyata Baru 11 Persen Warga Sleman Pakai Layanan Online Disdukcapil, Apa Alasannya?

Load More