Budi Arista Romadhoni
Senin, 22 Desember 2025 | 12:52 WIB
Sejumlah mahasiswa asal Sumatera dan Aceh menerima bantuan hidup di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (22/12/2025). [Suara.com/Putu]
Baca 10 detik
  • Banjir di Sumatera Utara dan Aceh menyebabkan kerusakan parah, menghilangkan mata pencaharian orang tua mahasiswa perantau di Yogyakarta.
  • Mahasiswa terdampak kesulitan biaya hidup dan kuliah, mengandalkan bantuan kampus seperti kupon makan gratis untuk bertahan.
  • Pemda DIY memberikan bantuan biaya hidup Rp300 ribu selama enam bulan dan kampus menawarkan keringanan UKT bagi 1.296 mahasiswa.

SuaraJogja.id - Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara dan Aceh tidak hanya menyisakan kerusakan fisik, tetapi juga mengguncang ketahanan ekonomi keluarga para mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan jauh dari kampung halaman. 

Di Yogyakarta, sejumlah mahasiswa dari beberapa kampus membagikan cerita tentang sawah yang tenggelam, rumah yang terendam lumpur, hingga orang tua yang kehilangan mata pencaharian jadi akibat banjir dan longsor di Sumatera dan Aceh. Mereka dengan terpaksa kini harus berusaha bertahan di tengah keterbatasan.

Sebut saja Bintang Zahara Surbati, mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) asal Sumatera Utara, mengungkapkan keluarganya selamat dari bencana. Namun, banjir meninggalkan dampak mendalam pada kehidupan ekonomi keluarga. 

Sawah dan kebun yang selama ini menjadi sumber utama mata pencaharian orang tuanya hilang terendam banjir. Kini dia dan keluarganya tak memiliki apapun untuk bisa bertahan hidup

"Semua sumber mata pencarian orang tua, seperti sawah dan kebun. Hilang semua, kelelep banjir," papar Bintang usai mendapatkan bantuan hidup dari Pemda DIY di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (22/12/2025).

Pada hari-hari awal setelah banjir, keluarga Bintang tidak bisa langsung kembali beraktivitas. Selama hampir satu pekan, mereka fokus memulihkan diri dan mengungsi di rumah saudara yang tidak terdampak.

"Seminggu sebelumnya setelah banjir itu memang pemulihan diri dulu, terus nggak bisa ngapain-ngapain karena mengungsi di tempat saudara," katanya sembari menangis.

Komunikasi dengan keluarga masih bisa dilakukan meski dalam situasi darurat. Menurut Bintang, kondisi kelistrikan di Sumatera Utara tidak lumpuh total. 

Namun, dampak ekonomi langsung dirasakan Bintang sebagai mahasiswa perantau. Ia mengaku kini tidak bisa menerima kiriman uang dari orang tua. 

Baca Juga: Hadirkan Perumahan Mewah di Tengah Kota Yogyakarta, Nirwana Villas Malioboro Pastikan Legalitas Aman

“Dua hari setelah banjir itu merendah. Untuk listrik pemadamannya nggak terlalu lumpuh total, ada beberapa titik yang masih bisa untuk mengabari. Ini kan berat, nggak dapat uang dari orang tua," ucapnya. 

Dalam kondisi tersebut, bantuan dari kampus menjadi penopang utama untuk bertahan hidup. Kampus memberikan bantuan berupa kupon makan gratis yang dapat ditukarkan di kantin. Setiap pekan, mahasiswa terdampak mengambil kupon untuk kebutuhan makan selama satu minggu ke depan. 

"Kampus memberikan kupon untuk makan gratis di kantin. Jadi setiap Senin kami ambil kupon untuk seminggu ke depan," ujarnya.

Meski kebutuhan makan terbantu, persoalan lain masih membayangi. Biaya tempat tinggal menjadi beban paling berat karena lokasi kos yang dekat dengan kampus membuat biayanya relatif mahal. 

Selain itu, biaya perkuliahan juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Apalagi ujian akhir semester sudah semakin dekat. 

"Yang paling berat itu kos, dan biaya perkuliahan karena sebentar lagi sudah mau UAS," katanya. 

Ia mengaku masih menunggu kepastian dari orang tua apakah ada kemungkinan dukungan biaya dalam waktu dekat. Meski saat ini pihak kampus telah menyampaikan adanya rencana keringanan biaya perkuliahan. 

Namun informasi tersebut masih akan dibahas lebih lanjut dalam pertemuan lanjutan bersama pihak kampus. Harapannya sederhana, yakni adanya kemudahan agar ia dan mahasiswa terdampak lainnya tetap bisa melanjutkan pendidikan.

"Semoga ada keringanan biaya kuliah, kalau tidak saya tidak tahu lagi [bayar kuliah]," akunya.

Cerita serupa datang dari M Hafizar Azmi, mahasiswa UPNVY asal Aceh Tamiang. Daerah tempat tinggal keluarganya menjadi salah satu wilayah yang terdampak paling parah. 

"Khususnya daerah saya itu semuanya terdampak, terdampaknya sangat parah, sampai seatep banjirnya," ujarnya.

Meski tidak ada anggota keluarga yang hilang, rumah-rumah di wilayah tersebut belum bisa ditempati. Hingga kini, lumpur sisa banjir masih menyelimuti bangunan. 

"Alhamdulillah keluarga saya selamat. Cuma rumah-rumahnya yang belum bisa ditempati," ujarnya.

Di Yogyakarta, Azmir bertahan dengan mengandalkan tabungan pribadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Orang tua belum bisa memberikan dukungan finansial karena kondisi ekonomi keluarga yang belum pulih. 

"Biaya hidup sehari-hari saya masih bisa, ada tabungan. Untung masih bisa makan tapi tidak tahu sampai kapan," ujarnya.

Seperti Bintang, Azmi mengaku beruntung menerima bantuan makan gratis dari kampus. Namun untuk kebutuhan lain seperti transportasi dan pakaian, ia masih harus mengandalkan dana pribadi.

"Tinggal ke kantinnya, tunjukin KTM, nanti dikasih makan gratis," katanya. 

Di tengah kondisi tersebut, Azmi mengaku sebenarnya ingin pulang ke kampung halaman untuk membantu keluarga. Namun, keterbatasan ekonomi membuatnya memilih bertahan di Yogyakarta sambil berharap bantuan terus tersedia agar ia tetap bisa hidup dan melanjutkan kuliah di perantauan.

"Kalau sampai uang habis, terpaksa nanti cari kerja sambilan," paparnya.

Sementara Sekda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti mengungkapkan Pemda memberikan bantuan biaya hidup bagi sebanyak 1.296 mahasiswa dari 52 kampus yang terdampak bencana banjir Sumatera dan Aceh. 

Upaya pemulihan bagi mahasiswa terdampak bencana banjir di sejumlah wilayah terus dilakukan secara bertahap dan terukur. 

"Setiap mahasiswa dapat Rp 300 ribu per bulan untuk enam bulan kedepan," jelasnya.

Made menyebut, setelah turun langsung ke lapangan dan melakukan pendataan ulang mahasiswa di DIY yang terdampak, pemda bersama perguruan tinggi menyepakati skema bantuan yang menyasar kebutuhan hidup dan keberlanjutan pendidikan mahasiswa.

Data mahasiswa yang dikumpulkan berasal dari kampus masing-masing. Hingga batas akhir pendataan pada hari Jumat pekan lalu, tercatat sebanyak 1.296 mahasiswa terdampak, baik negeri maupun swasta. Berdasarkan data tersebut, pemerintah daerah menyiapkan bantuan biaya hidup (living cost) selama enam bulan.

Bantuan tersebut diperkuat oleh dukungan dari berbagai pihak, mulai dari yayasan, organisasi masyarakat, hingga lembaga zakat. Setiap pihak memberikan kontribusi bulanan secara bergiliran.

"Data yang nanti diberikan oleh kampus inilah yang kami pakai sebagai dasar pemberian bantuan. Karena kita juga tidak tahu mahasiswa siapa yang nanti akan kita berikan," jelasnya.

Tak hanya bantuan biaya hidup, perguruan tinggi di Yogyakarta juga berkomitmen memberikan keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sesuai tingkat dampak yang dialami mahasiswa. Skema ini diharapkan mampu menopang keberlanjutan pendidikan mahasiswa yang terdampak langsung secara ekonomi akibat bencana.

"Untuk yang berat, dibebaskan. Yang sedang 50 persen, dan yang ringan 25 persen," paparnya.

Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengungkapkan pemberian bantuan biaya hidup bagi mahasiswa terdampak bencana di Sumatera merupakan bagian dari tradisi panjang Yogyakarta dalam menjaga keberlanjutan pendidikan. Tradisi tersebut telah berlangsung sejak masa Sri Sultan HB IX.

"Kepedulian ini tidak hanya ditujukan kepada daerah yang mengalami bencana namun juga kepada mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan di Yogyakarta agar tidak terputus di tengah jalan," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More