Dancemart, Melawan Honor Murah Penari di Yogyakarta

Sanggar Tari Krida Beksa Wirama juga membawa Reni menari sampai ke New Zealand.

Pebriansyah Ariefana
Minggu, 28 April 2019 | 14:57 WIB
Dancemart, Melawan Honor Murah Penari di Yogyakarta
Penari Yogyakarta dari Sanggar Tari Krida Beksa Wirama. (Suara.com/Handayani)
Penari Yogyakarta dari Sanggar Tari Krida Beksa Wirama. (Suara.com/Handayani)
Penari Yogyakarta dari Sanggar Tari Krida Beksa Wirama. (Suara.com/Handayani)

Pengajar Tari di Sanggar Tari Krida Beksa Wirama, MG Sugiarti berpendapat, sebenarnya profesi tari memiliki potensi yang menjanjikan apabila digeluti dengan sungguh-sungguh.

"Kalau dari harian, secara umum boleh dikatakan menjanjikan, ya bisa, kalau orang memang menggeluti itu. Tapi kalau hanya sebagai hobi ya enggak. Karena hanya sedikit sekali kan (yang menggemari tari tradisi). Bahkan yang menghargai kan kadang-kadang tarian itu kurang sekali dibandingkan musik dan vokal," kata dia.

Ia mencontohkan, di Bali penari menjadi profesi tersendiri. Pemerintah setempat membangun pasar yang kuat, baik di hotel-hotel maupun di kawasan wisata. Tarian disajikan di ruang makan hotel pada pagi atau siang hari. Para tamu bisa menikmati santapan makan sembari menonton pertunjukan tari tradisi.

Pertunjukan tari juga digelar di tempat-tempat tertentu dan menjadi ikon wilayah. Misalnya ada tempat tertentu yang sudah terkenal selalu menyajikan pertunjukan Tari Kecak. Para wisatawan pun berbondong-bondong ke tempat tersebut untuk menyaksikan Tari Kecak. Secara bersamaan, keindahan alam juga ditawarkan. Penonton dapat menikmati matahari tenggelam sembari menonton Tari Kecak.

Baca Juga:FACE OF JAKARTA: Peruntungan Para Penggali Kubur Mister X

Konsep ini juga diterapkan di Candi Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Para wisatawan yang datang ke Yogyakarta umumnya mencari tahu tentang Sendratari Ramayana yang digelar rutin di tempar tersebut.

Tari-tarian juga dapat dikembangkan di desa-desa wisata. Seperti di Bali, tarian khas di setiap desa dapat ditampilkan bersama dengan kuliner khas dan keindahan alamnya. Konsep ini dapat digunakan di tempat-tempat wisata yang sudah terkenal, seperti Kebun Buah Mangunan, Hutan Pinus Mangunan, Puncak Becici, Puncak Klangon, dan sebagainya.

"Itu menghidupkan ekonomi di sana. Misal (Tebing) Breksi itu dulu gunung yang diambil kapurnya. Orang kerja cari uang dari itu, tapi lingkungannya rusak. Sekarang bisa jadi tempat wisata. Nanti kalau ada panggung, kesenian, orang jual makanan, parkir, dan lain-lain, kan jadi rejo (hidup, lestari). Nanti pemerintah bantu infrastrukturnya jalan. Seperti Mangunan jalannya dibesarkan, enggak sempit lagi," kata Sugiarti.

Di tempat-tempat pariwisata, tari-tarian tradisional biasanya ditampilkan secara padat. Pemerintah juga harus mewadahi para pencinta seni tari yang ingin mengetahui versi asli tari tradisional yang ada. Salah satu cara yang dilakukan adalah menggali kembali akar seni tari yang ada di Yogyakarta.

Hal itu bisa dilakukan dengan mengkaji manuskrip-manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta maupun arsip Sanggar Tari Krida Beksa Wirama. Hal itu akan menghidupkan seni tari di tengah perkembangan zaman.

Baca Juga:FACE OF JAKARTA: Jejak Kuburan Tanpa Nama dan Penggali Kubur Mister X

Gunakan Teknologi Informasi

Penari Yogyakarta dari Sanggar Tari Krida Beksa Wirama. (Suara.com/Handayani)
Penari Yogyakarta dari Sanggar Tari Krida Beksa Wirama. (Suara.com/Handayani)

Pegiat Seni dan Museum asal Yogyakarta, Daniel Haryono sependapat dengan hal tersebut. Menurut dia, terbentuknya pasar untuk seni tari menjadi bagian penting untuk meningkatkan kesejahteraan para penari.

Kepala Museum Ullen Sentalu ini mengatakan, museum tak hanya berperan dalam memperkenalkan benda-benda bersejarah, namun juga material seni dan budaya yang hidup, seperti seni tari. Hal ini menjadi kekuatan yang sulit dikalahkan oleh negara-negara lain.

Ia mencontohkan, banyak karya seni Indonesia dibawa ke Inggris dan Belanda pada masa penjajahan. Benda-benda bersejarah, seperti topeng pada masa kerajaan Singosari, tersimpan di luar negeri. Mereka menolak untuk menyerahkan karya-karya itu.

"Saya pernah berdiskusi dengan beberapa profesor di luar, bagaimana artefact retaliation. Mereka bilang, jangan mimpi Indonesia, jangan berharap banyak lah. Yunani sama Mesir minta, sampai sekarang enggak mungkin tuh," kata dia.

Meski dongkol, Hartono mengatakan hal itu tak dapat dipungkiri. Sebagian benda-benda peninggalan itu memang tak dapat diambil kembali. Namun, itu tak membuatnya patah arang. Meski tak memiliki 'bendanya', Pemerintah Indonesia memiliki sumber-sumber budaya yang hidup dan bisa dikembangkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak