SuaraJogja.id - Perempuan dengan lengan penuh seni tato itu menyambut kami dengan ramah di depan rumahnya. Begitu melangkah masuk, aneka macam sertifikat, poster event yang berhubungan dengan tato, serta logo Perempuan Tattoo Indonesia terpampang jelas.
Dia adalah Agustin Yustina atau yang akrab disapa Agustin. Ibu dari empat anak tersebut merupakan penggagas komunitas Perempuan Tattoo Indonesia (PTI). Tak sendiri, Agustin juga ditemani Flo Putri Arum atau Flo, yang bertugas sebagai admin PTI.
Perempuan Tattoo Indonesia adalah sebuah komunitas yang dibangun oleh Agustin di tahun 2016 silam. Awalnya, PTI hanya merupakan grup di media sosial Facebook.
"Waktu itu saya melihat bahwa dalam industri tato ini, perempuan masih sangat minim mempunyai akses, apalagi di media sosial mereka tidak punya wadah sendiri untuk memamerkan (tato)," ungkap Agustin saat ditemui tim Suarajogja.id di kediamannya, wilayah Mergangsan, Yogyakarta, Kamis (10/9/2020) kemarin.
Baca Juga:Program Community Accelerator dari Facebook Dukung Komunitas Tumbuh
"Sebenarnya simpel saja, agar perempuan nyaman memamerkan tubuhnya, otoritasnya, tatonya. Akhirnya saya membuat PTI di media sosial."
Berangkat dari media sosial, Agustin ingin mendobrak stigma soal tato terutama pada perempuan. Tak sekadar komunitas tato, Agustin juga ingin melakukan aksi nyata untuk masyarakat. Sejak dulu hingga sekarang, isu utama yang diangkat Perempuan Tattoo Indonesia adalah soal anak dan perempuan.
Berjuang demi anak dan perempuan
Setahun setelah Perempuan Tattoo Indonesia berdiri, Agustin memulai aksi nyata pertamanya. Saat itu, Agustin membuat aksi sosial untuk anak-anak penderita HIV/AIDS yang tergabung dalam Lentera Solo. Untuk menggalang dana, Agustin menggelar event di Taman Budaya Yogyakarta.
Agenda Perempuan Tattoo Indonesia tidak hanya digelar di Yogyakarta saja. Lewat grup Facebook, PTI ternyata sudah memiliki ratusan tibu anggota di seluruh Indonesia.
Baca Juga:Badan Penuh Tato Jadi Kepala Desa, Ini 3 Foto Hoho Alkaf Bikin Merinding
"Aku membangun jaringan dari sosial media ke dunia nyata itu lewat pertemanan, jadi bagaimana membuat event dengan teman-teman di luar kota," kenang Agustin.
Agustin memiliki teman di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Pemalang, Cilacap, hingga Purwokerto. Mayoritas adalah orang-orang bertato yang juga ikut melakukan aksi di dunia nyata.
Sementara, kegiatan PTI di Yogyakarta terpusat di Omah Kreatif yang berlokasi di Desa Monggang, Bantul. Omah Kreatif adalah kolektif yang bergerak di bidang pendidikan alternatif anak-anak dan melibatkan perempuan (orangtua anak). Pendanaan Omah Kreatif berasal dari hasil penjualan merchandise PTI.
Lewat Omah Kreatif, Agustin dan kawan-kawannya memberikan pendidikan seperti membatik dan melukis untuk anak. Tidak hanya itu, mereka juga melibatkan orangtua dan saling berbagi ilmu mendidik anak.
"Ini sebagai salah satu kampanye kami, bagaimana tato tidak selalu dipandang memiliki stigma buruk dalam masyarakat," jelas Agustin. Dibanding memaksa masyarakat untuk menerima tato, Agustin memilih untuk berfokus pada apa yang bisa dia berikan kepada masyarakat.
"Itu yang selalu menjadi tujuan PTI, dengan mengampanyekan bahwa tato bukan kriminal, lewat direct action kepada masyarakat," tambahnya.
Selain aktif di Omah Kreatif, Agustin Yustina juga aktif menjadi narasumber atau ikut kegiatan diskusi. Bahkan di tengah pandemi Covid-19, Agustin masih menjadi narasumber meski lewat live streaming atau Youtube.
Mematahkan rantai stigma
Sepintas, tato tidak terlihat sebagai fokus utama kegiatan di komunitas ini. Meski terlibat dengan komunitas tato lainnya, hal tersebut tidak menjadi aktivitas rutin.
"Kami kan membawa nama tato, pasti akan terlibat dengan komunitas yang memang khusus berbicara tato," jelas Agustin yang pernah berpatisipasi sebagai juri untuk Miss Tato Indonesia di Blitar.
Namun, kegiatan yang tidak berhubungan dengan tato jauh lebih banyak. Saat pandemi Covid-19 berlangsung, Agustin sempat turun tangan untuk membantu lewat pembentukan dapur umum.
Salah satu kegiatan mereka saat itu adalah mendonasikan susu untuk membantu gizi anak-anak yang keluarganya terdampak Covid-19. Agustin juga melakukan donasi sembako di kampung pemulung dan kampung pinggir sungai.
Kemudian, Agustin sendiri memberikan fasilitas internet gratis untuk belajar online. Kala itu, Agustin rela mengantar-jemput anak-anak yang membutuhkan jaringan internet untuk belajar di teras rumahnya sendiri.
Tidak hanya itu, Perempuan Tattoo Indonesia adalah penggagas Festival Dolanan Anak selama dua tahun berturut-turut. Banyak panitia saat itu adalah orang-orang dengan tato. Mereka pun sering mendapat pertanyaan, kenapa PTI malah membicarakan soal anak-anak?
"Tujuan mengampanyekan tato bukan kriminal, tidak hanya pada orang dewasa. Sedangkan stigma itu, kan, diterima dari pola pikir anak kecil. Anak kecil diwariskan dari pikiran-pikiran orangtua. Kenapa aku dan teman-teman fokus ke anak-anak? Kami ingin mematahkan rantai stigma itu," jelas Agustin.
"Jadi kami bertato, tapi kami cenderung berbicara tidak dengan tato. Anak adalah salah satu generasi pemutus rantai stigma: bahwa tato itu buruk, tato itu kriminal, tato itu sangat dibenci orang-orang. Tapi saat masih kecil kita kenalkan, bahwa kami bertato tapi kami tidak sesuai dengan apa yang orangtua ajarkan atau terlihat di media, ini tindakan langsung," tegasnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Flo, admin komunitas PTI. Meski dirinya tidak bertato, Flo juga tidak menyukai stigma yang sering beredar di masyarakat.
"Kalau saya mikirnya orang bertato itu nggak bisa langsung kita nilai 'kowe bertato jauhi dia' (kamu bertato, jauhi dia-red). Kalau biasanya, kan, ada ibu-ibu, bawa anak, yang pikirannya masih kolot langsung nge-judge gitu," kata Flo.
"Contohnya PTI sendiri, dia berkegiatan, dia langsung turun untuk membuat contoh nyata bahwa tato bukan kriminal yang sering masyarakat dengar. Itu sebagai jawaban untuk menghantam omongan-omongan orang yang langsung nge-judge," lanjut Flo.
Bukan sekadar perempuan dan tato
Meski nama komunitas mereka adalah Perempuan Tattoo Indonesia, Agustin tidak memberi batasan untuk anggota. Siapa pun, perempuan atau laki-laki, bertato atau tidak bertato, boleh bergabung.
Kata 'perempuan' dalam nama PTI sendiri digunakan karena mereka ingin mengubah stigma perempuan bertato di Indonesia. Namun, bukan berarti anggota grup ini eksklusif khusus perempuan.
"Harapan kami adalah merubah stigma perempuan bertato di Indonesia. Kalau kita tidak melibatkan dua gender itu, bagaimana akan mengubah sesuatu? Jadi perempuan itu hanya media kami, bahwa kami perempuan yang memiliki tato juga sama dengan laki-laki. Bahwa tidak ada gender dalam tato," kata Agustin.
Namun, Agustin tetap memberi aturan ketat di grup Facebook. Salah satu aturan tersebut adalah swafoto hanya boleh dilakukan oleh anggota perempuan.
"Di Facebook ada grup PTI, aku memberikan otoritas penuh kepada perempuan yang memiliki tato dan tidak memiliki tato, untuk memposting apa pun yang mereka inginkan di situ."
"Jadi aku punya rules: selfie hanya untuk perempuan, laki-laki tidak boleh. Lalu, kamu bisa memperlihatkan tato, apa pun, tanpa bullying. Jadi kamu bisa memperlihatkan tato di payudara, kalau memang di situ (tempatnya), kenapa tidak?"
Hal ini dilakukan Agustin bukan tanpa alasan. Selama ini, grup atau komunitas tato di sosial media sudah terlalu didominasi laki-laki. Artis tato perempuan, terutama yang berasal dari daerah, juga enggan show off karena takut dipandang sebelah mata.
Lewat Perempuan Tattoo Indonesia, para artis tato perempuan tersebut jadi berani menunjukkan diri. Hal tersebut merupakan kebanggaan tersendiri bagi PTI.
"Padahal mereka tidak tahu di industri tato, ketika bicara secara nominal, itu sangat membantu terutama bagi single parents," ujar Agustin soal para artis tato perempuan.
Di sisi lain, anggota tidak bertato juga bisa ikut mendapatkan manfaat. Sebagai anggota tanpa tato, Flo pertama mengenal Agustin lewat Omah Kreatif. Ternyata, rumah keduanya berdekatan. Lama-kelamaan Flo pun ikut berkegiatan dan membantu PTI.
"Karena saya ibu muda, belum mengenal anak kecil harus diperlakukan seperti apa, di Omah Kreatif ini kita saling belajar."
"Terlebih pelajaran dari Mbak Agustin sendiri. Dengan dia yang apa adanya, tapi dia masih bisa membuat sesuatu untuk orang lain, bisa memberikan waktunya, dan ilmu yang dia punya walaupun dia bukan sarjana," ungkap Flo.
Opini baik dan buruk selalu ada
Beruntung, Agustin belum pernah menghadapi stigma perempuan bertato secara langsung, baik verbal atau tindakan. Sebagai ibu dengan empat anak, Agustin tetap sering datang ke sekolah anak-anaknya.
"Saya ibu dengan empat anak yang sering datang ke sekolah anak-anak saya, dengan rambut begini, dengan tato yang kelihatan, ya, tidak ada masalah."
Namun, lain halnya dengan media sosial. Ternyata, media sosial masih belum mampu membuka cara pikir semua orang. Meski begitu, Agustin enggan menanggapi opini orang di sosial media secara serius. Dia juga tidak merasa perlu menjelaskan satu-satu ke semua orang.
"Menurut saya, berdiskusi, atau membenarkan, atau menyalahkan komentar di sosial media juga tidak bijaksana. Kita tidak bisa memaksa orang untuk selalu berpikir bahwa tato itu baik, tato itu tidak jahat. Sedangkan media mainstream menggambarkan tato itu jahat."
"Saya lebih senang ketika opini jelek itu muncul, tapi saya melakukan hal yang kontradiktif dengan cara mereka berpikir," tambahnya sembari merujuk kepada kegiatan PTI selama ini.
Opini baik dan buruk di masyarakat adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah, juga dimaklumi oleh Agustin. Dibanding berfokus pada opini buruk, Agustin memilih untuk mencari cara menghadapi semua itu.
"Tapi kalau kamu tidak melakukan apa pun dalam konteks bermasyarakat, ya, jangan harap stigma itu pergi," tandas Agustin.