SuaraJogja.id - Bulan Muharram, atau dalam kalender Jawa sering disebut Wulan Suro, memang spesial bagi masyarakat Jawa. Berbagai tradisi sering mereka lakukan ketika masih di bulan Suro seperti sekarang ini. Mereka menganggap Wulan Suro membawa berkah tersendiri.
Seperti yang dilakukan oleh keluarga Raden Ngabehi Wonopawiro Demang Pademangan Piyaman, keluarga pendiri Kabupaten Gunungkidul ini melakukan jamasan atau pembersihan pusaka pada hari-hari terakhir di bulan Suro ini.
Kamis (17/9/2020) sore, atau dalam kalender Jawa sudah masuk pada hari Jumat Pahing, keluarga besar Demang Wonopawiro melaksanakan jamasan pusaka peninggalan leluhur mereka tersebut.
Diawali dengan tahlilan yang dipimpin oleh tokoh agama Islam di Pedukuhan Ngrebah, Kalurahan Piyaman, Kapanewon Wonosari, gelaran jamasan pusaka peninggalan Demang Wonopawiro dilaksanakan.
Baca Juga:Perayaan 10 Muharram Diwarnai Bentrokan Muslim Khasmir dan Polisi
Cucu buyut Demang Wonopawiro, Harjana, menuturkan, pada kali ini berbeda dengan jamasan-jamasan pusaka yang dimiliki oleh Demang Wonopawiro sebelumnya. Kali ini hampir semua pusaka peninggalan Demang Wonopawiro dikeluarkan untuk di jamas alias dibersihkan. Bahkan ada pusaka yang baru dikeluarkan saat ini setelah 300 tahun disimpan.
"Kali ini memang spesial, apalagi ada kerabat Sri Sultan HB VIII yang datang," ujar Harjana.
Puluhan orang tampak memadati kediaman Demang Wonopawiro untuk mengikuti prosesi jamasan pusaka tersebut. Tampak cucu Sri Sultan HB X, Gusti Kukuh Hestarining, bersama istri, menghadiri dan memimpin rangkaian prosesi jamasan pusaka Demang Wonoprawiro.
Hadir pula bakal calon bupati Gunungkidul Mayor Sunaryanto di tengah-tengah tamu undangan. Sebelum prosesi jamasan, yang diawali dengan tahlilan, dimulai, mereka melakukan ziarah kubur ke makam Ki Demang Wonopawiro, yang letaknya sekitar 200 meter dari kediaman Demang Wonopawiro.
Beberapa benda pusaka yang dijamas kali ini adalah Gamelan, Tombak, Keris, dan Besi Kuning. Ada beberapa pusaka, seperti tombak dan keris, yang baru dikeluarkan kali ini setelah tersimpan rapi selama 300 tahun lamanya. Pusaka lengkap ini dijamas dengan ramuan khusus, termasuk air dari 7 sumber mata air yang dilaruti kembang 7 rupa.
Baca Juga:Niat Puasa Asyura dan Keutamaan di Bulan Muharram
"Jamasan ini sudah turun temurun kami laksanakan,"paparnya.
Gusti Kukuh Hestarining atau Gusti Ning mengatakan, dengan jamasan ini, diharapkan masyarakat, terutama di Gunungkidul, bisa meneladani kembali semangat perjuangan Ki Demang Wonopawiro, sosok lelaki yang mampu membuka Alas Nongko Doyong hingga menjadi Kabupaten Gunungkidul.
"Raden Demang Wonopawiro adalah tokoh yang juga berjuang melawan VOC," terangnya.
Demang Damar atau Demang Wonopawiro bermodal tekad meyakinkan diri. Aapabila harus mati saat membuka hutan tersebut, maka itu pun sebagai wujud pengorbanan demi titah sang raja. Apabila berhasil, maka itu sebagai wujud bakti dirinya pula terhadap kerajaan, seraya berharap siapa tahu anak cucu kelak ikut merasakan atau menikmati ketika wilayah itu menjadi kota atau wilayah yang makmur.
Menurut riwayat yang ada, upaya Demang Damar dan para pengikutnya dalam membuka hutan tersebut berhasil. Sang Raja Yogyakarta menghargai keberhasilan Demang Damar dan memberikan nama baru kepadanya menjadi Wanapawira. Wana berarti hutan, sedangkan Pawira mengandung arti kaprawiran, atau sifat kesatria atau pemberani.
Sebagai hadiah, tawaran menjadi pemimpin atau bupati pun disampaikan, tetapi Wanapawira menolak jabatan tersebut. Wanapawira hanya meminta, biarlah anak keturunannya ke|ak ikut merasakan kemakmuran atau kamukten atas pembukaan permukiman baru pusat pemerintahan kadipaten di kawasan Pegunungan Sewu ini.
Kontributor : Julianto