Tepat dua tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, Rurah Salim mencoba mencari peruntungan ke Indonesia dengan jualan burjo yang dipanggul dan keliling bersama dengan istrinya.
Setelah Indonesia merdeka, Rurah Salim mengganti metode berdagangnya dengan membuka kios. Seiring perkembangan zaman, menu warung burjo yang awalnya hanya menyediakan bubur kacang hijau kini justru lebih dikenal dengan menu-menu olahan mi instan.
Meski disebut-sebut berasal dari Kuningan, tetapi keberadaan burjo lebih mudah ditemui di daerah Jakarta, Semarang, Solo, dan tentunya Jogja.
Dengan jumlah yang tak bisa dihitung lagi, mayoritas pengunjung yang datang ke burjo di Jogja selalu memanggil penjualnya dengan sebutan 'Aa' atau 'Mamang' sebagai panggilan yang sopan kepada seorang lelaki dalam budaya Sunda.
Baca Juga:Lima Kalurahan Masuk Zona Merah, Pemkot Jogja Batasi Pergerakan Masyarakat
Warganet sendiri tidak jarang dibuat heran, kenapa warung burjo di Jogja selalu didominasi dengan orang Sunda. Sementara di tanah Sunda justru jarang yang membuka warung semacam burjo.
"Heran, yg jaga warung #burjo di #jogja kenapa orang #Sunda ya? Udah ke beberapa tempat yg jaga orang #Sunda juga," tulis akun @nugyanfa.
"Di Jogja banyak burjo dan yang punya sebagian besar orang Sunda. Tetapi di daerah Sunda sendiri tidak ada burjo," komentar akun @kaafandi_.
"Kayaknya program provinsi Jabar itu mengirim orang sunda jadi penjual burjo di Jogja," tanggapan akun @limasudut.
Sementara akun @duuwiikk mengatakan, "Kalau di Jogja 'ngasah' basa sunda sama aa-aa burjo, di Bali sama aa-aa surabi, di Lampung sama mamang-mamang batagor."
Baca Juga:Cek Wisatawan, Jogja Tambah Petugas untuk Pemeriksaan Acak Surat Kesehatan