Cerita ini ia dapatkan langsung dari Gus Dur ketika orang-orang ramai membicarakan tidurnya. Saat orang-orang terkesima, Gus Mus justru menanggapinya biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, tidak ada juga yang tak masuk akal perihal misteri tidur Gus Dur ini.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang ini mengungkapkan bahwa kecerdasan Gus Dur justru terletak pada kesiapan dirinya menghadapi forum-forum besar.
"Tak ada yang aneh jika Gus Dur bisa seperti itu. Tak ada yang tak masuk akal. Gus Dur punya siasat dan bisa dipahami. Manakala menerima undangan untuk diskusi, seminar, simposium, dialog, atau konferensi, dan sejenisnya, Gus Dur lebih dulu mencari tahu siapa saja pembicaranya. Lalu Gus Dur mempelajari pikiran-pikirannya, perspektifnya, dan gagasan-gagasan yang pernah disampaikannya, baik dalam karya-karya tulisnya maupun ceramah-ceramahnya. Nah, dari membaca semua itu, Gus Dur menangkap apa yang akan dibicarakan dan disampaikan para pembicara atau narasumber itu kelak," terang Gus Mus menirukan Gus Dur: “Paling-paling tak jauh dari itu juga.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015).
Fenomena Gus Dur ini dalam perspektif ilmu sastra dan retorika ada teori bernama bara’ah al-istihlal. Dalam tradisi keilmuan pesantren, teori ini terdapat dalam kitab Al-Jauhar al-Maknun, tentang balaghah, sastra Arab.
Baca Juga:Mengenal Abdurrahman Wahid Lewat Buku Gus Dur, Jejak Bijak Sang Guru Bangsa
Inti teori ini menurut KH Husein Muhammad dalam bukunya Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur (2012) ialah pembicara biasanya akan mewakili pikirannya dengan mengungkap substansi yang akan diurainya kemudian.