SuaraJogja.id - Seorang remaja berusia 15 tahun di Kabupaten Brebes menjadi korban perkosaan oleh enam pemuda. Namun, peristiwa ini tak dilaporkan ke polisi dan justru diselesaikan secara damai disertai dengan ancaman dan pemberian uang kompensasi.
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menyatakan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak bisa dilakukan secara damai. Kebijakan itu ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
"Ya sederhananya begini, kalau dia adalah kekerasan seksual bahkan perkosaan itu di dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memang tidak diatur secara implisit ya," kata Akbar dihubungi, Selasa (17/1/2023).
"Tetapi dalam penjelasan umumnya poin ke empat Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu dikatakan perkara tindak pidana seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali pelakunya anak," sambungnya.
Baca Juga:LPSK Kena Sentil DPR, Gegara Kalah Gercep sama Hotman Paris saat Tangani Korban Perkosaan di Lahat
Apalagi, disampaikan Akbar, dalam kasus ini pelakunya adalah orang dewasa. Sehingga kasus perkosaan itu tetap harus diproses secara hukum yang berlaku.
"Jadi harus dimasukkan ke dalam mekanisme peradilan karena untuk melindungi korban juga," tegasnya.
Ia menjelaskan perdamaian sendiri juga tidak boleh dilakukan dalam kasus ini. Sebab akan berpotensi untuk melemaskan proses tindak pidana kasus kekerasan seksual ke depan.
Terlebih lagi saat ada ancaman kalau kasus ini dilaporkan oleh pelaku. Tidak ada landasan hukum mengenai hal tersebut dan tidak bisa dilakukan begitu saja.
"Itu tidak bisa pakai apa pun enggak ada, kalau dia adalah korban kejahatan dan dia melaporkan itu bukan pencemaran nama baik apalagi aduan palsu," ucapnya.
Justru dalam kasus kekerasan seksual, korban yang harus melaporkan peristiwa itu. Walaupun, ia menyadari memang tidak akan mudah bagi korban untuk melapor atau bercerita kepada pihak lain.
- 1
- 2