Review Film: Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film

Penantian panjang 5 tahun akhirnya berbuah manis.

Yohanes Endra
Senin, 27 November 2023 | 17:45 WIB
Review Film: Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. (IMDb)

SuaraJogja.id - Tak ada yang biasa-biasa saja di film "Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film". Bahkan, tak ada yang sia-sia setelah film ini harus jatuh bangun melewati 5 tahun proses pembuatannya. Meski terbilang ringan, hampir secara keseluruhan film romantic comedy ini dikemas begitu manis, berisi, dan emosional.

Film besutan sutradara Yandy Laurens disajikan dengan visual hitam putih, tapi kenyataannya, tanpa mengurangi rasa hormat ke film romcom lainnya, film ini jauh lebih berwarna ketimbang film berwarna pada umumnya. Yandy Laurens juga begitu cerdas lantaran ia membuat film tentang pembuatan film di dalam sebuah film.

Saat hadir di Jogja-NETPAC Asian Film Fest, tim Suara Jogja berani bersaksi bahwa "Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film" tak menyia-nyiakan sedikitpun kualitas aktor maupun aktris kenamaan yang muncul di setiap sequence film tersebut. Bahkan, bila meminjam lagu Sheila On 7, boleh dibilang, "Hidup terlalu singkat, untuk kamu lewatkan tanpa menyaksikan Jatuh Cinta Seperti di Film-film."

Mari kita menyimak sekilas tentang sinopsis film "Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film". Film ini mengisahkan tentang Bagus (Ringgo Agus Rahman) seorang penulis film adaptasi yang berniat untuk menuliskan naskah orisinil perdananya. Ia berusaha keras untuk meyakinkan sang produser (Alex Abbad) agar naskah yang terinspirasi dari kisahnya sendiri, kisah ia yang jatuh cinta pada Hana (Nirina Zubir), teman lama yang baru saja kehilangan suaminya, diterima dan difilmkan secara luas.

Baca Juga:4 Aplikasi Nonton Film Korea dan Drakor, Cocok buat Nobar Tahun Baru

Pertemuan kembali Bagus dengan Hana dijaga dengan baik. Bukan sekadar karena ada ketertarikan terhadap Hana, tapi juga lantaran kepentingan proyek penulisan yang harus diselesaikan.

Suatu saat, Hana tak sengaja menemukan naskah tersebut hingga amarahnya begitu meledak-ledak. Menurutnya, apa yang dilakukan Bagus salah, terutama di momen-momen ketika ia masih mengobati luka dari kepergian suaminya. Dari situ, penonton dibuat bertanya-tanya, apakah Bagus sanggup memperbaiki hubungan dengan Hana? Dan apakah kisah ini sanggup menemukan akhir yang indah sesuai dengan keinginan Bagus?

Bila menilik sinopsis tersebut, rasa-rasanya film "Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film" terkesan begitu ringan. Namun, Yandy Laurens mengemasnya cukup apik. Banyak kejutan di sana-sini selama film berlangsung. Bahkan penyajian dialognya terbilang nyaris sempurna.

Setelah menyaksikan film ini, penonton akan menyadari betapa film ini dibuat sejujur mungkin oleh Yandy Laurens, yang mendedikasikan film ini untuk ibunya, sang inspirator.

"Film ini buat ibu saya, jadi dari awal buat ide ini memang mau menceritakan tentang bagaimana mencintai seseorang yang kehilangan yang sangat besar. Jadi ibu saya dulu kehilangan ayah saya waktu saya kelas 2 SMP," tutur Yandy saat ditemui Suara Jogja di acara JAFF KE-18, Minggu (26/11/2023).

Baca Juga:4 Film Menegangkan yang Cocok Ditonton saat Tahun Baru

Yandy Laurens semula mengaku ada perasaan gelisah maupun janggal ketika ia bersikeras mempersembahkan film ini semata hadiah yang indah untuk sang ibu. Sebab menurutnya, bila memang ingin memberikan hadiah untuk ibu, ia bisa saja pulang sewaktu-waktu dan menemani sang ibu sebagai tanda cinta.

Namun, setelah mengalami gejolak maupun pergelutan batin tersebut, Yandy menemukan bahwa film tetaplah sebuah film. Ia harus memberikan sentuhan rasa yang berbeda meski tetap mengusung tema yang personal pada filmnya.

Ada satu hal yang terkesan remeh tapi cukup unik di film ini, tepatnya ketika muncul adegan karakter Bagus berulang kali menyantap mie instan. Sekilas penonton bisa saja menebak pasti ini bagian dari strategi marketing pada umumnya. Namun, tak lama setelahnya, Bagus malah dilarikan ke rumah sakit lantaran terlalu sering makan mie instan.

Secara keseluruhan, Ringgo Agus dan Nirina Zubir sekali lagi mampu membuktikan kualitas aktingnya yang nggak kaleng-kaleng. Mereka mampu mengaduk-aduk setiap sisi emosional penonton yang hadir menyaksikan "Jatuh Cinta Seperti di Film-Film," mulai dari tawa bahagia, amarah dikecewakan, hingga tangis kehilangan.

Film ini juga menyajikan beberapa plot twist maupun potongan yang begitu apik, sampai-sampai penonton dibuat kebingungan, mana sebenarnya yang ada di film atau di kehidupan nyata.

Sedikit catatan untuk film ini, beberapa lagu yang dipilih menjadi soundtrack terasa kurang nendang dan tak bisa mengimbangi suasana yang dihadirkan di beberapa sequence film tersebut. Ketika lagu "Anything You Want" diputarkan, ada rasa yang sedikit hilang atau hambar dalam film tersebut.

Angkat topi setinggi-tingginya untuk Sheila Dara dan Dion Wiyoko. Meski tak menjadi pemeran utama, mereka mampu mewakili suara-suara keresahan para penonton. Setiap dialog, celetukan, atau perkataan yang keluar dari mulut mereka sukses membuat penonton sepakat dan terhibur. Sheila Dara pun menjadi salah satu tokoh yang membuktikan bahwa kejujuran adalah sesuatu yang mahal.

Pemutaran Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang digelar di Jogja-NETPAC Asian Film Fest atau JAFF. (Suara Jogja/Yohan)
Pemutaran Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang digelar di Jogja-NETPAC Asian Film Fest atau JAFF. (Suara Jogja/Yohan)

Setelah acara nonton bareng film "Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film" selesai digelar di JAFF, Suara Jogja mencoba mengajak Ringgo Agus Rahman untuk berbincang. Pada kesempatan itu, ia mengutarakan bahwa pandemi, alih-alih menjadi penghalang proses pengerjaan, justru semakin menguatkan dirinya dan segenap tim dalam film tersebut.

Ringgo mengaku bahwa film ini sedemikian berharga dan mewah baginya lantaran di masa lampau, sebelum mengerjakan film ini, ia merasa diperlakukan seperti robot.

"Ini film yang sangat berharga buat gua karena prosesnya menurut gua mewah, gua nggak tahu kapan lagi gua dapat kesempatan ini. Selama gua berkarier, gua belum pernah. Belum pernah apa? Gue selama ini selalu terima script, kadang ada sutradara atau tim yang terlibat tuh mau membantu gua untuk mencari karakter apa yang kira-kira cocok, yang kira-kira gua mau, yang bikin gua nyaman. Tapi kebanyakan mereka cuma kasih script," ujar Ringgo.

"Mereka tidak peduli bagaimana gua melakukan pendekatan terhadap karakter di film itu. Ketika proses reading yang kadang-kadang sekadar ketemu rutin, baca, baca, baca. Ketika itu udah sering sekali, gua selalu dapat film kayak gitu, gitu, gitu. Jadi kayak robot ya. Padahal, gua aktor yang bisa berpikir," imbuhnya.

Perjalanan penuh suka duka tersebut rupanya berimbas cukup buruk bagi Ringgo. Selama berkarier di dunia film, ia sempat merasakan jenuh dan mempunyai luka tersendiri.

"Gua merasakan kejenuhan. Gua punya luka sendiri terhadap apa yang gua lakukan. Gua sempat nggak mau main lagi. Gua sempat tiba-tiba jadi kru iklan. Gua mulai dari bawah lagi. Gua mulai dari production assistant lagi. Karena menurut gua, gua butuh hal yang lain dulu. Kenapa? Karena tiba-tiba dunia akting yang tadinya gua cinta, tiba-tiba jadi sesuatu yang monoton karena industrinya seperti itu. Sampai akhirnya gua ditemukan oleh Yandy yang punya treatment berbeda, sampai akhirnya di film kedua Yandy yang gua mainin ini diberikan kesempatan untuk tidak jadi robot," kata Ringgo.

Menurut Ringgo, Yandy Laurens punya perlakuan yang berbeda terhadap para pemain maupun tim yang bekerja dalam film arahannya, bila dibandingkan dengan sutradara lainnya.

"Yandy itu mau terima masukan semuanya, bukan cuma gua sebagai aktornya, bahkan teman-teman lainnya dia, teman-teman sutradara dia, DOP-nya dia, dia tuh mau terima itu. Hal yang paling luar biasa. Kalau kita lagi syuting, saat dia kasih tau gua ada yang kurang, Yandy nyamperin gua dan bisik-bisik, 'Nggo, tadi gua rasa ada yang kurang.' Kenapa bisik-bisik? Sedangkan sutradara lain banyak yang teriak, 'Woy, lo tadi kurang ini!' Didengar orang-orang, buat gua nggak masalah sebenarnya, tapi Yandy merasa, kesannya seperti merendahkan orang lain, kesannya kayak gua tidak menganggap lo mampu. Bukan hanya memanusiakan manusia, dia tahu ini butuh sesuatu yang intim dan personal, dan dia melakukan itu. Di tangan Yandy gua jauh-jauh merasa lebih berharga," pungkas Ringgo Agus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak