SuaraJogja.id - Warga Kalurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Bantul menolak rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di dekat tempat mereka tinggal. Alasannya karena letak TPSS tersebut berada di perbatasan antara kelurahan Srimulyo dan Sitimulyo, sehingga terdapat potensi ancaman pada warga di kelurahan Sitimulyo.
Penolakan tersebut muncul ketika pemerintah Kabupaten Bantul dan perangkat kelurahan dari Srimulyo melakukan sosialisasi pembangunan TPSS di kelurahan Srimulyo, kapanewon Piyungan.
Warga yang menolak terutama berasal dari Padukuhan Banyakan II, Banyakan III, Pagergunung I dan Pagergunung II yang berada di perbatasan dua kalurahan tersebut.
"Warga menyatakan akan siap melakukan demonstrasi yang lebih besar apabila pemerintah tetap melakukan pembangunan TPSS di wilayah kami," ujar Ketua Banyakan Bergerak, Triyanto, Jumat (5/7/2024).
Baca Juga:Bawaslu Bantul Kordinasikan Revisi Perbup Pemasangan APK pada Pilkada 2024
Penolakan lantaran warga dari keempat padukuhan tersebut akan menerima dampaknya. Sawah-sawah warga dari keempat padukuhan di Sitimulyo terancam akan tercemar. TPSS ini sendiri akan dibangun di tanah seluas 3000 meter persegi dengan status tanah Sultan Ground.
Di mana ada tiga titik yang akan dijadikan opsi yaitu TPSS Kaligatuk, TPSS Puncak Bucu, dan TPSS Tumpang. Pemkab disinyalir akan menggunakan tanah tersebut untuk kegiatan pembuangan sampah dengan masa kontrak 6 bulan yang akan berakhir pada Desember 2024.
"Tidak ada penjelasan teknis terkait bagaimana model pengelolaan penguraian kandungan lindi, dan pengelolaan gas metan yang akan dilakukan," tambahnya.
Dia menambahkan pemerintah juga tidak menjelaskan apakah TPSS tersebut digunakan untuk pembuangan residu saja. Sehingga, kemungkinan sampah yang dibuang merupakan sampah hasil pengangkutan dari hulu yang tidak diolah.
TPSS rencananya akan menggunakan geomembran dan talud untuk menahan air lindi. Namun pada praktiknya, geomembran dan talud bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi.
Baca Juga:BPBD DIY: Pemenuhan Air Bersih Warga Gunungkidul dan Sleman Masih Aman
Warga telah membuktikan dengan melakukan pengecekan di TPA Transisi yang menggunakan geomembran. Geomembran tersebut pada akhirnya tetap rusak dan akhirnya air lindi masih mencemari tanah dan air milik warga.
"Pembangunan TPA dan kebijakan yang serampangan dari kabupaten/kota di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan adanya desentralisasi," terangnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa justru pemerintah DIY melepaskan tanggunjawabnya dari kegagalan mereka mengelola sampah.
Pada undang-undang nomor 18 tahun 2008 TPA merupakan tanggungjawab dari pemerintah provinsi. Pasca munculnya kebijakan terkait desentralisasi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota masih sangat tergantung dengan TPA Piyungan.
TPA Piyungan yang secara resmi telah ditutup pada praktiknya masih menjadi pilihan tempat untuk melakukan pembuangan sampah. Alih-alih membuat pengelolaan sampah di hulu agar tidak membebani TPA-TPA eksisting yang ada di Yogyakarta, pemerintah daerah justru semakin menggencarkan pembangunan TPA.
Kontributor : Julianto